Jika laju produksi dipertahankan, cadangan batu bara Indonesia akan habis dalam 29 tahun. Lebih banyak batu bara semestinya dialokasikan untuk penggunaan domestik daripada untuk ekspor
Implementasi road map Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), khususnya sektor batubara, kemungkinan akan terhambat oleh lemahnya tata kelola yang terus melanda industri.
RUEN sebagai road map pemerintah untuk target energi dan pertambangan hingga tahun 2050 menetapkan batasan produksi batu bara sebesar 400 juta ton per tahun mulai tahun 2019.
RUEN juga menetapkan bahwa batubara tidak boleh diekspor setelah 2046.
Batas tersebut ditetapkan untuk meminimalkan kebutuhan ekspor dan memaksimalkan konsumsi domestik untuk bahan bakar pembangkit listrik dan industri manufaktur.
Selain itu, pembatasan tutup dan ekspor akan ditetapkan untuk menjaga cadangan batu bara negara yang semakin menipis sehingga Indonesia tidak harus bergantung pada impor di masa depan, seperti halnya minyak.
RUEN tersebut juga menjelaskan tentang kebutuhan pemerintah untuk memproduksi batubara dengan kualitas yang lebih baik dengan teknologi yang lebih bersih dan juga pembentukan kawasan cadangan nasional sebagaimana diatur dalam UU Pertambangan 2009.
Namun, sejarah buruknya pengelolaan dan tata kelola pemerintah di sektor batu bara telah menimbulkan keraguan bahwa peta jalan tersebut akan diikuti.
Peneliti Publish What You Pay (PWYP) Indonesia telah mengidentifikasi beberapa masalah yang akan menghambat implementasi RUEN, di antaranya kurangnya uji tuntas dalam penerbitan ribuan izin pertambangan.
Koordinator nasional Maryati Abdullah mencontohkan, jumlah izin yang dikeluarkan melonjak menjadi 10.000 pada tahun 2010 dari 750 pada tahun 2001, terutama karena kurangnya koordinasi selama masa transisi menuju otonomi daerah.
“Pemantauan produksi dan penjualan juga sangat lemah, disamping pemantauan penerimaan negara yang lemah. Ini menimbulkan indikasi ekspor dan produksi ilegal tidak sesuai dengan rencana kerja dan anggaran”, ujarnya, Senin.
Sementara data pemerintah menunjukkan bahwa sekitar 300 juta ton batu bara dari 413 juta ton yang akan diproduksi tahun ini akan diekspor, Maryati berpendapat masih banyak kasus ekspor ilegal dan produksi yang tidak terdeteksi yang tidak diperhitungkan pemerintah.
Menurut PWYP, cadangan batu bara akan habis seluruhnya dalam 29 tahun jika negara terus memproduksi lebih dari 450 juta ton per tahun.
Namun, pemerintah tampaknya tak bisa lagi memenuhi aturannya sendiri karena Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah mengusulkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menaikkan produksi tahun ini menjadi 477,91 juta ton.
Menurut PWYP, per 20 Februari perusahaan batu bara dan mineral berhutang kepada pemerintah sebesar Rp 4,92 triliun (US $ 369 miliar) dalam bentuk royalti dan pajak.
Kurangnya kepatuhan dan tata kelola di sektor ini tidak hanya diperuntukkan bagi produksi dan pendapatan. Data yang sama menunjukkan bahwa hingga 5,6 juta hektar hutan konservasi dan lindung telah dihancurkan untuk tambang batu bara.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Sonny Keraf mengatakan diperlukan tata kelola yang lebih kuat agar pemerintah bisa mencapai target RUEN. Mantan Menteri Lingkungan Hidup itu mencatat, banyaknya kelonggaran di sektor batu bara karena pemerintah terus memandang batu bara sebagai komoditas untuk mengisi kas negara, bukan sebagai bahan baku yang bisa diolah untuk menghasilkan nilai yang lebih tinggi.
“[Batubara] bukan hanya komoditas tapi modal untuk pembangunan. UU Pertambangan 2009 dengan tegas menyebutkan bahwa harus ada nilai tambah dari energi. Pada dasarnya kita tidak bisa mengekspornya untuk penerimaan negara, tapi harus dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik dan bahan untuk industri manufaktur”, ujarnya.