Tata kelola hutan dan lahan selama ini telah menjadi perhatian khusus Pemerintah. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai kebijakan nasional, di antaranya kebijakan moratorium penerbitan izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut melalui Inpres nomor 6/2017, restorasi lahan gambut di beberapa daerah prioritas, evaluasi IUPHHK-HTI dan izin-izin usaha pertambangan di kawasan hutan melalui Koordinasi dan Supervisi KPK, serta komitmen Indonesia melalui Nationally Determined Contribution dalam mendorong pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim.

Namun, beberapa hambatan dalam penataan hutan seperti pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan, serta deforestasi dan degradasi yang diakibatkan oleh industri ekstraktif melalui penerbitan izin tambang dan perkebunan yang masif dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan masih adanya tantangan. Karenanya, PWYP Indonesia menyelenggarakan diskusi “Tata Kelola Industri Ekstraktif dalam Pengendalian Perubahan Iklim” pada Kamis (31/10) lalu.

Sebagai the last frontier, upaya penyelamatan hutan dan pengendalian perubahan iklim di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks kelestarian hutan-hutan di Papua. Kesadaran ini menjadi dasar inisiatif pemerintah daerah Provinsi Papua Barat yang menetapkan Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi, dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Khusus tentang Konservasi dan atau Pembangunan Berkelanjutan. Hadir dalam diskusi ini sejumlah perwakilan dari Kementerian Bappenas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kelompok masyarakat sipil Provinsi Papua Barat, dan organisasi masyarakat lainnya.

Irfan Darliazi Yananto, tenaga ahli Bappenas, dalam paparannya menjelaskan konsepsi pembangunan daerah rendah karbon. Menurutnya, Bappenas akan menggunakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai alat untuk mengintegrasikan aspek lingkungan terhadap perencanaan RPJMN 2020-2024 dan Rencana Aksi Daerah (RAD) Pembangunan Rendah Karbon. Sejauh ini, dikatakan sudah ada lima (5) provinsi yang telah menandatangani MoU penerapan pembangunan rendah karbon dengan Bappenas, yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.

“Kita berusaha tidak hanya melihat dari penurunan emisi saja, tetapi juga dampak ekonomi dan sosialnya,” ujar Irfan. Kedepan, Bappenas akan melakukan mainstreaming pembangunan rendah karbon melalui 2 fase. Fase pertama, yakni memperkenalkan alat perencanaan dinamika sistem yang memungkinkan analisa trade-off sosial, lingkungan dan ekonomi dalam berbagai skenario pembangunan. Fase kedua, yaitu memperkuat kebijakan PRK; pemantauan, evaluasi dan pelaporan nasional terkait pembangunan rendah karbon; mekanisme pembiayaan yang inovatif untuk pelaku usaha; dan peningkatan komunikasi untuk meningkatkan kesadaran pentingnya pembangunan berkelanjutan.

Menanggapi hal tersebut, Piet Yan Wamaer, Direktur Mnukwar, mengingatkan agar inisiatif konservasi dan pembangunan rendah karbon perlu dipastikan dilakukan dengan tidak mendiskreditkan masyarakat adat yang selama ini banyak bergantung pada hutan. Menurutnya, saat ini terdapat 90 kampung yang hendak dikeluarkan dari wilayah hutan oleh pemerintah. Padahal masyarakat di sana sudah lama tinggal di hutan dan bergantung pada sumber daya alam yang ada di sekitar.

Di sisi lain, hilangnya tutupan pohon juga dipengaruhi oleh konsesi yang beroperasi di kawasan hutan. Aktivitas pertambangan menjadi salah satu penyebab terjadinya deforestasi. Tiyas Nur Cahyani, Kepala Seksi Perlindungan Lingkungan Ditjen Minerba Kementerian ESDM, dalam sesi diskusi menjelaskan bagaimana upaya tata kelola pertambangan dalam wilayah hutan.

Menurut Tiyas, luasan izin/kontrak pertambangan yang berada pada kawasan hutan saat ini yaitu 2,3 juta hektar (38%) berada di hutan produksi, 1,65 juta hektar (28%) di hutan produksi terbatas, 1,17 juta hektar (20%) di hutan lindung, 757 ribu hektar (13%) di hutan produksi dapat dikonversi, dan 64 ribu hektar (1%) berada di hutan konservasi.

Untuk memastikan tidak terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, Kementerian ESDM mewajibkan setiap perusahaan tambang mempunyai rencana reklamasi atas aktivitas pertambangan yang berlangsung, serta memastikan pemenuhan dana jaminan reklamasi dan pascatambang. Pemerintah juga memberlakukan sanksi administrasi, pemblokiran e-PNBP, atau penundaan pelayanan perizinan, bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban reklamasi dan pascatambang. Di sisi lain, fungsi pengawasan telah dilakukan dengan menggunakan remote sensing dan GIS Spasial. Khusus di Papua Barat, Tiyas menyebut bahwa saat ini terdapat 1 Kontrak Karya (KK), 1 Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan 13 IUP, dengan total luasan 215.978 hektar.

Terkait upaya pelestarian hutan di Papua Barat, masyarakat sipil berencana akan mendorong pengawasan hutan partisipatif dengan menggunakan platform Global Forest Watch. Hal ini dilakukan agar masyarakat bisa bersama-sama mengawasi hutan di dekat mereka.

Menurut Asri Nuraeni, Program Manager EI Forest Governance, penggunaan Global Forest Watch sebagai alat penunjang pengawasan hutan, diharapkan bisa memudahkan masyarakat dalam upaya pelestarian hutan. Data temuan dari pengawasan partisipatif pun bisa menjadi bahan dalam dialog kebijakan bersama pemangku kepentingan terkait.