Indonesia saat ini mempunyai sumber daya gas yang berlimpah, dengan sumber daya terbukti migas di tahun 2013 sebesar 3.7 milyar barel minyak dan 103 TCF gas.[1] Namun, berlimpahnya sumber daya gas ini tidak serta merta diiringi dengan mudahnya pengelolaan gas dalam negeri.
Salah satu tantangan dalam pengelolaan gas di sektor hulu adalah adanya ketidakpastian regulasi dimana regulasi seringkali berubah-ubah, dan rumitnya birokrasi mulai dari penemuan sumur gas baru sampai dengan produksi gas. Menurut Arifin, Chairman LNG & Gas Committee, Indonesia Petroleum Association (IPA) dalam diskusi “Peta Masalah dan Tata Kelola Gas di Sepanjang Rantai Nilai Industri Ekstraktif” (25/4) lalu, ketidakpastian regulasi dan kompleksnya birokrasi ini memicu lamanya proses pengelolaan gas di sektor hulu.
Ia memaparkan panjangnya proses pengelolaan gas di sektor hulu dan lamanya waktu yang dibutuhkan. Misalnya, jika ditemukan gas di suatu lapangan dibutuhkan waktu sekitar 6-12 bulan untuk mengurus sertifikasi komersialnya, kemudian sekitar 24-30 bulan dalam mengurus kontrak gas, 6-12 bulan mengurus perjanjian transportasi gas, 12-18 bulan menyusun Plan of Development, Authorization for Expenditure, Work Plan & Budget, serta 48-60 bulan untuk procurement proses, baru kemudian pengiriman gas.
Aspek kepastian bisnis juga disoroti oleh Eddy Asmanto, Sekjen Indonesia Natural Gas Trader Association. Menurutnya, bisnis gas adalah bisnis jangka panjang, dan membutuhkan infrastruktur yang rumit dan mahal untuk penyimpanan dan pendistribusiannya, sehingga butuh kepastian dalam aturan main untuk menjamin pengembalian investasi.
Tantangan lainnya adalah 75% sumber daya migas saat ini terletak di laut dalam di wilayah Indonesia bagian timur, dengan 85% didominasi oleh sumber daya gas. Dengan lokasi di perairan dalam tersebut, waktu produksi saat ini menjadi lebih lama dibandingkan dengan era sebelumnya, diperkirakan dibutuhkan waktu sekitar 20 tahun dari penemuan sampai dengan produksi.
Arifin menambahkan, perlu penyederhanaan birokrasi agar birokrasi tidak berbelit, sehingga dari penemuan migas baru ke produksi tidak memakan waktu yang lama. Perlu juga peningkatan investasi di sektor hulu migas untuk mendorong penemuan cadangan migas baru di frontier areas.
[1] Sumber: ESDM, Woodmac, BP Statistical Review