Skip to content

Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia selenggarakan diskusi terpumpun bertajuk “Menilik Arah Kebijakan Hilirisasi Batu Bara di Tengah Komitmen Transisi Energi di Indonesia“ di bilangan Jakarta Pusat, pada 29 April 2025. Hadir Koordinator Hilirisasi Mineral dan Batu Bara (Minerba) Direktorat Jenderal (Ditjen) Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhammad Ansari, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani, Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna dan Policy Strategist Yayasan Indonesia Cerah Wicaksono Gitawan, sebagai narasumber.

Diskusi terpumpun ini bertujuan untuk mendiskusikan mengetahui arah kebijakan hilirisasi batubara Indonesia dalam lima tahun kedepan, mengidentifikasi peluang dan tantangan pelaksanaan hilirisasi batubara di tengah komitmen dan agenda transisi energi Indonesia, dan menyusun rekomendasi pengelolaan batubara yang sejalan dengan pelaksanaan transisi energi berkeadilan

Sebagaimana diketahui, Indonesia tengah menggencarkan agenda hilirisasi batubara dalam rangka meningkatkan nilai tambah di tengah komitmen pelaksanaan transisi energi. Salah satu produk yang didorong yakni Dimethyl Ether (DME), yang merupakan bagian dari upaya peningkatan nilai tambah batu bara. Diharapkan juga dapat mengurangi impor bahan bakar Liquid Petroleum Gas (LPG). Pemerintah beralasan, hilirisasi batubara merupakan alternatif karena lebih murah dibanding dengan pengembangan energi lainnya.

Namun rencana hilirisasi ini menimbulkan polemik. Sejumlah kalangan menilai hilirisasi batubara tak sejalan dengan semangat transisi. Hilirisasi justru menjadikan peran energi fosil semakin kuat dan memperpanjang ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil. Inilah salah satu alasan mengapa hilirisasi batubara memicu perdebatan publik. Selain itu, hilirisasi batubara memiliki tantangan yang kompleks. Mulai dari teknologi, investasi dan ketersediaan pasar.

Menurut Ansari, peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan potensi investasi batubara masih sangat tinggi. Namun ada sejumlah kendala dan hambatan yang dialami, di antaranya persoalan struktural, teknologi, maupun koordinasi lintas kementerian/lembaga belum optimal. Meski begitu, upaya perbaikan tengah dilakukan terhadap kendala dan hambatan tersebut.

Terkait tantangan teknologi, Indonesia belum memiliki pengalaman teknologi hilirisasi batubara. Teknologi, kata Ansari, berkaitan erat dengan riset atau penelitian. Namun banyak lembaga penelitian Indonesia belum diarahkan untuk hilirisasi. Meski begitu, menurutnya optimisme pengembangan dan pemanfaatan batu bara untuk hilirisasi harus diwujudkan.

“Pemerintah berpandangan, hilirisasi batubara itu menjembatani penggunaan energi yang lebih bersih,” ujar Ansari.

Sementara itu, Gita Maharani menyampaikan tantangan lain dari perspektif pelaku usaha. Yakni investasi dan ketersediaan pasar. Hilirisasi membutuhkan modal atau nilai investasi yang besar. Ini menjadi tantangan yang sangat mendasar, selain ketersediaan teknologi. “Nilai investasi ini bukan dalam hitungan juta, tapi dalam skala miliar dollar. Tenaga ahli sudah banyak, tapi teknologi yang bisa diaplikasikan secara langsung belum tersedia dan memadai secara langsung,” katanya.

Menurut Gita, hilirisasi harus dilihat secara komprehensif; dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Arah kebijakan harus jelas, termasuk pertimbangan apakah proyek hilirisasi batubara dapat berjalan atau tidak. Oleh karenanya, peta jalan terkait hilirisasi menjadi penting.

Dalam pengalamannya di APBI, lanjut Gita, rencana hilirisasi masih tertahan di tahap uji kelayakan, karena beberapa proyek tidak layak untuk melaksanakan uji kelayakan itu sendiri. Sehingga, penting agar pengembangan hilirisasi dilakukan dengan mengkaji lebih dalam kelayakan pasar dari pengembangan tersebut. Di sisi lain, kepada pemerintah, para pelaku usaha berharap kewajiban hilirisasi tak mengakibatkan kerugian bagi mereka.

Putra Adhiguna mengatakan, stabilitas kebijakan menjadi kunci percepatan hilirisasi. Jaminan harga yang ekonomis dari produk hilirisasi juga menjadi penting yang perlu diatur dalam kebijakan. Masuknya investasi juga akan bergantung pada kebijakan. “Kemudian, tantangannya adalah kontrak komersial, apakah ada yang berani menjamin itu?” kata Putra ketika menyampaikan paparannya, sebagai narasumber.

Wicaksono juga menegaskan tantangan permintaan pasar terhadap hilirisasi batubara untuk DME. “Salah satu resikonya lagi adalah kalau DME tetap jadi, kita kemungkinan akan mengekspor, tapi bisa jadi demandnya tidak terlalu banyak. Ditambah ada hambatan karbon ekspor yang cukup tinggi,” katanya. Selain itu, Indonesia seharusnya juga bisa belajar dari Kanada. Melalui Canada Pension Plan Investment (CPPI), yang memiliki aset jauh lebih kecil dari Danantara, sekitar (CA$699,6 miliar atau sekitar 58% dari Danantara), namun mampu menaruh alokasi yang besar pada transisi energi. Yakni dengan membiayai proyek tenaga angin dan surya sebesar Rp 8,4 Triliun.


Share

We use cookies from third party services to offer you a better experience. Read about how we use cookies and how you can control them by clicking "Privacy Preferences".

Privacy Preference Center