KALTIMPOST.ID, SAMARINDA – Nyaris sedekade batubara ilegal dikeruk di kawasan konservasi Bukit Soeharto dan Ibu Kota Nusantara (IKN). Praktik haram itu terungkap setelah Bareskrim Polri mengungkap adanya 351 kontainer batubara, alat berat, penggunaan dokumen palsu, hingga tiga orang tersangka pada 17 Juli 2025.
Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyebut hal ini tak bisa lagi dikatakan insiden. Melainkan sebuah kegagalan sistem. Negara dibuat hingga Rp5,7 triliun dalam kurun waktu itu. Rp3,5 triliun dari deplesi batubara dan Rp2,2 triliun atas kerusakan lingkungan.
“Bagaimana bisa tambang ilegal beroperasi begitu lama di kawasan IKN tanpa ketahuan,” kata Peneliti PWYP, Adzkia Farirahman dalam rilis resminya, Minggu, 20 Juli 2025.
Ia mendesak, tak hanya pidana. Harus ada investigasi menyeluruh yang mampu membongkar praktik ilegal tersebut. Aktivitas itu jelas tak mungkin hanya berkutat di tiga tersangka yang sudah ditetapkan Bareskrim. Ada dugaan kuat, ada keterlibatan pihak lain. Entah penambang resmi, jasa transportasi, perusahaan pelayaran, pelabuhan, hingga pejabat terkait.
Modusnya juga sudah dikantongi kepolisian. Batubara itu dikumpulkan di sebuah gudang. Untuk mengirim, para pelaku memakai dokumen palsu agar emas hitam bisa lolos di Pelabuhan Kariangau Kaltim Terminal dan berlayar ke Tanjung Perak, Surabaya.
Pria yang karib disapa Azil ini juga mengkritik betapa lemahnya pengawasan dan penindakan dari Kementerian ESDM. Kasus ini, kata dia, jadi bukti betapa minimnya fungsi tersebut.
Di sisi lain, satuan tugas penanganan penambang ilegal yang dibentuk Otorita IKN (OIKN) yang dibentuk dua tahun lalu nyatanya tak bertaji.
“Buktinya dua tahun bekerja tak operasi berskala besar seperti ini, tak pernah terungkap,” tegasnya.
Anggota Koalisi PWYP Indonesia yang juga Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo, menambahkan. Apa yang diungkap Bareskrim itu jelas harus diapresiasi. Tapi soal tambang ilegal di Kaltim, kata dia, kasus itu bukan satu-satunya. Perkara ini menjadi stempel betapa lemahnya pengawasan pemilik otoritas terkait, baik Polda, Pemda, hingga penegak hukum lainnya.
“Jangan sampai publik berburuk sangka ada apa-apanya. Masa kasus ini baru terungkap saat Bareskrim turun,” sentilnya.
Pernyataan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia jika mereka hanya menangani tambang berizin jelas jawaban tak bermutu.
Pernyataan itu malah menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam memitigasi agar tak terulang kasus serupa di kemudian hari. “Jangan lupa, ada dokumen resmi yang dipakai di sini. IUP itu syarat mengirim. Dokumen yang dipakai memang diduga palsu, tapi karena dokumen itu batubara itu bisa dikirim,” katanya.
Praktik ilegal ini berjalan sejak 2016 silam, nyaris satu dekade. Dengan begitu, hampir 10 tahun uang haram beredar di kas negara.
Sumber: Kaltim Post