Tahura Bukit Soeharto yang masuk kawasan IKN banyak tergerus tambang batubara ilegal. Butuh reformasi tata kelola pertambangan dari hulu ke hilir.

Polisi menetapkan tiga tersangka dalam kasus pertambangan batubara ilegal di Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Area tersebut masuk dalam kawasan Ibu Kota Nusantara atau IKN.
Kasus ini diumumkan dalam siaran pers di Surabaya, Jawa Timur, 17 Juli 2025. Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Nunung Syaifuddin mengatakan, kasus ini bermula dari penemuan ratusan kontainer berisi batubara ilegal di beberapa lokasi.
Nunung menyebut, 248 kontainer diketahui saat pemeriksaan di Depo Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, dan 103 kontainer disita dalam pemeriksaan dokumen di Pelabuhan Kaltim Kariangau Terminal, Balikpapan.

Setelah ditelusuri, batubara tersebut berasal dari CV Wulu Bumi Sakti (WBS) yang menambang di Tahura Bukit Soeharto, salah satu kawasan konservasi di Kaltim. Polisi menyebut, aktivitas tambang tersebut telah berjalan sejak 2016 atau hampir satu dekade terakhir.
”Total areal pertambangan terhitung mencapai 186 hektar hingga 2025,” kata Nunung.
Tiga tersangka dalam kasus ini adalah YH dan CH sebagai penjual batubara dan MH sebagai pembeli. Menurut penghitungan kepolisian, aktivitas tambang ilegal ini merugikan negara Rp 5,7 triliun.

Menahun

Dalam liputan investigasi Kompas pada 17 Desember 2018, sekitar 71 persen dari sekitar 67.000 hektar kawasan Tahura Bukit Soeharto dalam kondisi kritis. Pertambangan batubara ilegal dan pembukaan lahan menjadi pemicu.Tim menemukan banyak alat berat beroperasi di Tahura. Lubang tambang ditinggalkan begitu saja. Aktivitas tambang bahkan dilakukan di dekat kantor aparat. Sejumlah warga menyebut aktivitas tersebut memicu banjir ke permukiman di Desa Sungai Seluang.
Bahkan, tambang batubara ilegal merangsek ke dalam Waduk Samboja, infrastruktur yang dibangun pemerintah di sekitar Tahura Bukit Soeharto. Pada Oktober 2019, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Balai Wilayah (BWS) Sungai Kalimantan III mendapati aktivitas tambang ilegal di kawasan hijau sisi barat waduk.

Aktivitas yang ada sejak 2016 itu tercatat timbul tenggelam. Pengelola sudah berkali-kali melapor ke polisi. Namun, pertambangan terus berjalan dan masuk kawasan hijau waduk pada 2018. Aktivitas itu berlanjut sampai 2020 (Kompas, 2/4/2020).
Setelah IKN ditetapkan di sebagian wilayah Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, pemerintah membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanggulangan Aktivitas Ilegal di Wilayah IKN. Satgas terdiri dari Otorita IKN, kepolisian, kejaksaan, dan lintas kementerian.
Kepala Unit Kerja Hukum dan Kepatuhan Otorita IKN Agung Dodit Muliawan mengatakan, pembangunan IKN menargetkan 75 persen area dari total 252.000 hektar merupakan kawasan hijau. Ia mengakui bahwa kondisi di lapangan, banyak tutupan hijau rusak akibat aktivitas ilegal. Satgas tersebut, lanjutnya, dibentuk tak hanya untuk menindak pertambangan ilegal. ”Penanganan aktivitas ilegal di IKN bukan cuma tambang,” katanya.
Pada Desember 2023, Otorita IKN mencatat, setidaknya 3.000 hektar kawasan di IKN diduga telah ditambang tanpa izin. Kebanyakan berupa tambang batubara (Kompas, 30/12/2023).

Memutus mata rantai

Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mendesak pemerintah bertanggung jawab dan segera mereformasi perbaikan tata kelola pertambangan. Guna mencegah praktik ilegal berulang dan menahun, mereka mendesak aspek pengawasan diperbaiki.
Peneliti PWYP Indonesia, Adzkia Farirahman, menyebutkan, pertambangan ilegal di IKN merupakan indikasi kegagalan pengawasan sektor pertambangan mineral dan batubara.
”Bagaimana mungkin tambang ilegal bisa beroperasi begitu lama di kawasan prioritas nasional seperti IKN tanpa deteksi dini?” ucap Azil, sapaan Adzkia Farirahman. Ia mendesak aparat penegak hukum memutus mata rantai pertambangan ilegal ini. Menurut dia, tambang ilegal terus eksis lantaran batubaranya tetap bisa dijual ke banyak tempat.

Selain itu, tambang yang mudah sekali tampak kerap tak ditindak segera. Dalam kasus tambang ilegal terakhir di IKN, PWYP Indonesia melihat para pelaku memanfaatkan dokumen resmi dari perusahaan pemegang izin usaha produksi (IUP) saat proses pengiriman di terminal Balikpapan. Dokumen tersebut digunakan agar batubara tampak seolah-olah berasal dari pertambangan resmi. Upaya pengelabuan itu dinilai sebagai bentuk sekongkol banyak pihak.

”Investigasi menyeluruh terhadap kemungkinan dugaan kuat keterlibatan pihak-pihak terkait, mulai dari penambang, penyedia jasa transportasi, agen pelayaran, perusahaan-perusahan pemilik berizin, operasionalisasi pelabuhan, hingga pejabat terkait,” ujarnya.
Terungkapnya tambang ilegal yang telah beroperasi nyaris 10 tahun ini memunculkan pertanyaan. Koordinator Pokja 30 Kaltim Buyung Marajo mengatakan, penegak hukum di Kaltim seolah tak bertaji berhadapan dengan korporasi industri tambang yang melanggar hukum.
”Termasuk Polda Kaltim, pemda, Otorita IKN, dan instansi penegakan hukum lainnya. Jangan sampai publik berburuk sangka ada apa-apanya hingga Bareskrim Polri yang baru bisa mengungkap masalah ini,” katanya.

Sumber: Kompas

Privacy Preference Center

Skip to content