Jakarta – Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho menyampaikan sejumlah kritik dan penolakan terhadap sejumlah pasal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Mineral dan Batu Bara (Minerba). Hal itu disampaikan dalam acara Talk Show on Energy yang diselenggarakan PWYP Indonesia bersama Energi Milenial Indonesia Raya (EMIR) di bilangan Jakarta Selatan, Sabtu (15/06/2024).

Sebelumnya, Pada 30 Mei 2024, Presiden Jokowi menandatangani PP Nomor 25 Tahun 2024 yang mengatur sejumlah perubahan ketentuan, antara lain terkait dengan pengertian Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), jangka waktu perpanjangan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) milik anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kriteria kegiatan Operasi Produksi yang terintegrasi dengan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian Mineral Logam dan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penawaran pengelolaan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas kepada Badan Usaha (BU) yang dimilliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan, dan kriteria perpanjangan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian.

Salah satu pasal yang disorot adalah pasal 83A, dimana penawaran prioritas eks PKP2B diberikan kepada badan usaha milik ormas keagamaan. Menurut Aryanto, pasal tersebut bertentangan dengan semangat regulasi yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tetang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).

“Pasal 75 Ayat (2) dan (3) UU Minerba menyebut bahwa IUPK diberikan kepada BUMN dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Juga bertentangan dengan pasal Pasal 74 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa Pemberian IUPK harus memperhatikan kepentingan daerah. Jika merujuk kepada UU Minerba, WIUPK seharusnya ditawarkan terlebih dahulu kepada BUMN/BUMD, baru kemudian diberikan ke badan usaha swasta melalui mekanisme lelang. PP Nomor 25 Tahun 2024 malah muncul entitas baru, yakni badan usaha milik ormas keagamaan, yang bertentangan dengan aturan di atasnya,” ujar Aryanto.

Aryanto mengungkapkan tidak adanya larangan bagi ormas, termasuk ormas keagamaan untuk memiliki badan usaha. Tidak pula ada larangan pula bagi badan usaha milik ormas keagamaan untuk bergerak di sektor energi dan sumber daya alam (SDA). Sepanjang tidak melanggar konstitusi dan regulasi, memiliki kapasitas dan pengalaman, beriorentasi mendukung pembangunan berkelanjutan, dan memiliki mitigasi yang jelas terkait dengan  resiko teknis dan mekanisme lelang WIUPK, risiko teknis pertambangan, resiko lingkungan, resiko akan adanya potensi konflik horizontal, risiko konflik kepentingan, resiko korupsi dan lain-lainya.

“Sayangnya, dari hal paling mendasar saja, PP Nomor 25 Tahun 2024 ini melanggar UU Minerba!” tegas Aryanto

 

PP Nomor 25 Tahun 2024 Hambat Transisi Energi

Aryanto memparkan bahwa tata kelola sumber daya alam termasuk batu bara harus sejalan dengan semangat transisi energi. Seharusnya, penggunaan batu bara dikurangi karena memiliki kontribusi besar bagi perubahan iklim. “Tentang perbaikan tata kelola pertambangan batu bara, harus sesuai dengan misi perubahan iklim,” katanya.

Beleid ini, memfasilitasi badan usaha milik ormas keagamaan untuk mengelola eks PKP2B berpotensi makin meningkatkan jumlah produksi batu bara nasional. Sebagaimana tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), target produksi nasional batu bara pada tahun 2019 maksimal sebesar 400 juta ton. Namun hingga tiga tahun terakhir, produksi batu bara semakin naik dan jauh dari target 400 juta ton tersebut.

Seharusnya, kata Aryanto, dalam masa transisi energi ini, pemerintah fokus pada pengendalian tata kelola batu bara agar dapat mencapai target dalam RUEN. Sehingga dengan kesadaran itu, kebijakan yang dilahirkan dapat berpihak dan mendukung masa transisi energi. “Kebijakan ini bertentangan dan menghambat transisi energi di Indonesia,” tegasnya.

Selain penawaran eks PKP2B kepada badan usaha ormas keagamaan, Aryanto juga menyoroti penghapusan kata “tahunan” dalam Rencana Kerja Anggaran Belanja (RKAB) produksi batu bara. “Adanya perubahan RKAB, yang tadinya tiap tahun menjadi tiga tahun. Dengan tiga tahun, menjadi sulit (untuk melakukan pengawasan),” terangnya.

Berkaitan dengan tata kelola sumber daya alam di masa transisi energi, lanjut Aryanto, seharusnya yang dilakukan adalah motarorium izin tambang. Bukan lagi memfasilitasi atau memberi ruang masyarakat untuk menambang batu bara. PWYP Indonesia mengajak peran aktif pemuda dalam mengawal transisi energi, termasuk merespons kebijakan-kebijakan yang berotensi menghalangi atau menghambat transisi energi, seperti PP Nomor 25 tahun 2024 ini.

“Harusnya saat ini kita sudah berada pada level moratorium izin. Bukan malah memfasilitasi terjadinya eksploitasi batu bara,” bebernya.

Sejalan dengan PWYP Indonesia, Luthfi Yufrizal, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) EMIR Jakarta menilai lahirnya PP Nomor 25 Tahun 2024 ini mengancam jalannya transisi energi di Indonesia. Selain itu, juga makin berdampak buruk pada lingkungan.

Sebagaimana diketahui, aktivitas tambang batu bara dapat berpotensi merusak fasilitas umum. “Seperti di sejumlah daerah di Sumatera, misalnya. Aktivitas tambang, untuk mengangkut batu bara sudah seharusnya punya jalan khusus. kan perusahaan harus punya jalan khusus. Tapi ada juga yang diam-diam menggunakan jalan umum. Ini kan masalah,” kata Luthfi.