Pembatasan di hulu harus dilakukan, mengingat tambang batubara menghasilkan emisi metana yang tinggi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia akan membatasi ekspor batu bara dan mewajibkan penggunaan Harga Batubara Acuan (HBA) di pasar ekspor. Bahlil akan memberlakukan sanksi larangan ekspor bagi perusahaan yang melanggar (Arief, 2025). Kebijakan itu harus dibarengi upaya pengendalian bahkan pengurangan produksi batubara. Pemerintah seharusnya melihat kembali akar dari masalah di sektor hulu yakni gagalnya pengendalian produksi batubara di tingkat nasional.
Tahun 2024 misalnya, merupakan tahun dengan angka produksi batubara tertinggi selama enam tahun terakhir yakni 834,10 juta ton (MODI, 6 Februari 2025). Padahal Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah menetapkan ambang batas produksi batubara maksimum 400 juta ton yang seharusnya dilakukan mulai tahun 2019. Namun realisasinya tidak pernah tercapai bahkan melesat jauh dari 2019 hingga tahun 2024. Masifnya produksi batubara menunjukan laju yang tidak terkendali dan membuka potensi celah korupsi dan bocornya penerimaan negara.
Pemerintah cukup hanya memperbaiki keekonomian batubara untuk peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) maupun kepentingan Domestic Market Obligation (DMO) semata, melainkan mengarahkan pada aspek yang lebih fundamental yakni mengontrol laju dan target produksi batubara. Selain menetapkan target produksi yang sejalan dengan RUEN, pemerintah seharusnya juga menyelaraskan volume produksi dalam Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) tahunan dengan ambang RUEN tersebut. Terlebih Dirjen Minerba mengakui angka target produksi selalu lebih rendah dari RKAB Batubara Misalnya pemerintah saat ini telah menetapkan target 735 juta ton, naik 3,52% dari tahun lalu. Sementara di RKAB volumenya produksinya bila di total di tahun 2025 sebesar 900-an juta ton. (Perwitasari, 2025).
Pemerintahan seharusnya memiliki orientasi atas kebijakan hilirisasi batubara yang tidak bersifat semu/tanggung/setengah-setengah atau bahkan merupakan bagian dari solusi palsu batubara. Mengingat hilirisasi batubara yang dicanangkan pemerintah di antaranya gasifikasi batubara bukanlah hal yang tepat. Program hilirisasi ini akan mengubah batubara menjadi dimethyl ether (DME). Pemerintah mengharapkan DME akan lebih murah sehingga bisa menjadi substitusi impor bahan bakar gas liquid Petroleum Gas (LPG).
Padahal menurut Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) biaya produksi DME sebetulnya dua kali lipat lebih mahal daripada impor LPG. Bila di total, biaya pembangunan fasilitas produksinya adalah Rp6,5 juta/ton atau US$470 per ton. Diperkirakan proyek DME tersebut akan menghabiskan dua kali lipat dari biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk impor atau menggerus penghematan elpiji sebesar Rp266,7 Miliar/US$19 juta (Verda, 2025).
Kemudian teknologi penangkap karbon yang disebut dengan Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization, and Storage (CCUS) untuk PLTU belum teruji bahkan dipandang sebagai teknologi gagal di sejumlah negara dan tidak ekonomis. Misalnya Dwi Sawung dari WALHI Nasional mengatakan proyek CCS di Gorgon Australia yang mengalami kekurangan target karbon dioksida 5,23 juta ton berakibat harus menambah biaya sekitar USD$100-184 juta. Kemudian, ada lagi proyek CCS di Aljazair yang harus diberhentikan pada 2011 karena potensi kebocoran yang dipicu pergerakan tanah (Verda, 2025).
Sementara terkait dengan co-firing batubara, opsi dekarbonisasi di sektor listrik yang menggunakan biomassa dianggap berbiaya rendah (Hariana et al., 2022; Mohd Idris et al., 2021; Song et al., 2021) dan telah dilakukan uji coba hingga puluhan lokasi Indonesia oleh pemerintah melalui PLN Group dalam Triani, Anggoro, dan Yunianto (2024). Saat ini jumlah proyeknya mencapai 52 PLTU dengan kebutuhan biomassa mencapai 10,2 juta ton per tahun (PLN, 2025).
Kendati demikian, belum menunjukan dampak nyata bagi pengurangan konsumsi maupun produksi batubara. Mengingat tambang batubara sendiri menghasilkan emisi metana yang tinggi.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa angka produksi batubara dari tahun 2019-2024 selalu melebihi ambang batas RUEN. Belum lagi isu deforestasi. Mengingat program co-firing membutuhkan biomassa yang memanfaatkan diantaranya sumber daya hayati sehingga akan berdampak pada deforestasi lahan. studi Trend Asia memperkirakan co-firing PLTU di 52 PLTU yang bersumber dari kayu akan berdampak pada deforestasi lahan sebesar 629.845-1.099.483 hektar (campuran biomassa 10%), 314.922-1.049.741 hektar (5%) dan 62.984- 209.948 hektar (1%) (Sahputra, 2022).
Produksi batubara yang tinggi berpotensi menghambat agenda transisi energi dan pengembangan energi terbarukan. Mengingat insentif bagi energi fosil dapat berujung pada disinsentif bagi energi terbarukan (Painuly, 2001). Batubara akan selalu dianggap jadi produk yang ekonomis dan mudah diserapkan oleh pasar domestik maupun internasional khususnya untuk kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Artinya, keekonomian energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan akan terus dipertaruhkan dengan disandingkan dengan batubara sebagai energi fosil yang telah mapan sejak lama.
Sudah saatnya, Pemerintah melakukan moratorium izin baru pada tambang batubara. Mengingat 95% kontributor PNBP di sektor minerba hanya dikuasai segelintir perusahaan besar batubara yang berjumlah 125 perusahaan (EITI, 2021). Sementara izin eksploitasi produksi batubara pada 2024 sebanyak 898 perizinan, dan izin eksplorasi berjumlah 11 (MODI, 2024). Untuk itu, Pemerintah perlu menekan izin baru dan sebaiknya fokus pada pembinaan dan pengawasan bagi izin yang sudah ada, termasuk bagi perusahaan yang berkontribusi besar pada PNBP batubara sehingga dapat menjalankan tata kelola tambang yang minim dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Hentikan Pembahasan RUU Minerba Sekedar “Bagi-Bagi” Izin Baru Batubara
Selain itu, Pemerintah sudah seharusnya juga tidak melanjutkan usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan perubahan keempat atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang hanya menjadi ajang bagi-bagi izin tambang semata. Pemerintah seharusnya menolak alasan inklusivitas dalam mengatur pemberian prioritas izin pada ormas keagamaan dan perguruan tinggi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Minerba ini. Jika benar ingin inklusif, seharusnya DPR dan pemerintah dalam RUU Minerba memasukan pasal pelibatan bermakna bagi kelompok rentan khususnya pada perempuan dan penyandang disabilitas yang sering kali sangat rentan terkena dampak dari pertambangan.
Memberikan izin secara prioritas bagi Ormas dan perguruan tinggi adalah bentuk penjerumusanan ke dalam jebakan konflik dan sengketa terkait operasionalnya serta berdampak buruk khususnya terhadap lingkungan dan masyarakat. Seharusnya pemerintah berfokus membenahi konflik dari izin dan peraturan yang sudah ada, misalnya memperkuat kelembagaan penegakan hukum (Gakkum) di bidang energi dan sumber daya mineral.
Sumber Referensi
EITI Indonesia. (2021). Ruang Lingkup Pelaporan EITI Indonesia ke-10, Tahun Fiskal 2021. Rapat Forum Multi-Stakeholder Group. https://portaldataekstraktif.esdm.go.id/storage/post-file/20240110121712/Rapat%20MSG%20Agenda%20ke-2_v3.pdf
Painuly, J.P., Barriers to renewable energy penetration; a framework for analysis. Volume 24, Issue 1, September 2001, El Savier Science.73-89
Arief, Andi M. (Februari 3, 2025). Menteri Bahlil Rencana Batasi Ekspor Batu Bara dan Pakai Harga Acuan Pemerintah. https://katadata.co.id/berita/energi/67a0875dd94e1/menteri-bahlil-rencana-batasi-ekspor-batu-bara-dan-pakai-harga-acuan-pemerintah
Hariandja, Ricahldo. (Agustus 8, 2024). Begini Risiko Teknologi Tangkap dan Simpan Karbon. https://www.mongabay.co.id/2024/08/08/begini-risiko-teknologi-tangkap-dan-simpan-karbon/
Sahputra, Eka Yogi. (September 4, 2022). Benarkan co firing Biomassa PLTU itu Transisi Energi Berikut Kajian Trend Asia. https://www.mongabay.co.id/2022/09/04/benarkah-co-firing-biomassa-pltu-itu-transisi-energi-berikut-kajian-trend-asia/
PLN. (Februari 1, 2025). Siaran Pers: co-firing biomassa di PLTU PLN Hasilkan 167 MWH Listrik Hijau Sepanjang 2024
.https://web.pln.co.id/cms/media/siaran-pers/2025/02/co-firing-biomassa-di-pltu-pln-hasilkan-167-juta-mwh-listrik-hijau-sepanjang-2024/
Perwitasari, Suci Anna. (Februari 4, 2025). ESDM Targetkan Produksi Batubara Capai 735 Juta Ton di Tahun 2025. https://industri.kontan.co.id/news/esdm-targetkan-produksi-batubara-capai-735-juta-ton-di-tahun-2025
Setiawan, Nano Verda. (November 11, 2020). Menimbang Efek Berantai dan Ongkos Besar Gasifikasi Batu Bara. https://katadata.co.id/berita/energi/5fac489ae2cec/menimbang-efek-berantai-dan-ongkos-besar-gasifikasi-batu-bara
Baca juga di: Indonesiana