JAKARTA – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengapresiasi munculnya peraturan Menteri yang tertuang dalam Permen ESDM No.37/2016 tentang Ketentuan Penawaran Hak Partisipasi (Participating Interest) 10% Pada Wilayah Kerja Migas. PWYP menilai peraturan tersebut berupaya mengurangi celah rent seeking dalam pengelolaan penyertaan saham daerah dalam industri hulu Migas, dengan mengutamakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang seluruh kepemilikan sahamnya dimiliki oleh pemerintah daerah atau perseroan terbatas yang paling sedikit 99% sahamnya dimiliki oleh pemerintah daerah dan sisa kepemilikan sahamnya terafiliasi seluruhnya dengan pemerintah daerah.

Rizky Ananda, peneliti PWYP Indonesia menyatakan masalah yang kerap terjadi adalah pemerintah daerah tidak memiliki modal yang cukup untuk mengambil keseluruhan porsi saham PI (10%) yang dialokasikan untuk daerah, sehingga ujung-ujungnya dikelola oleh pihak ketiga–dengan skema yang terkadang memberatkan atau kurang menguntungkan daerah. Karenanya, penting bagi daerah untuk diberikan fleksibilitas dalam mengambil bagian PI sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki.

“Skema dalam Permen soal PI ini sejalan dengan usulan koalisi PWYP Indonesia yang tertuang dalam Revisi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), yang mengutamakan kepemilikan saham oleh daerah secara langsung,” ungkap Rizky, Kamis (26/1) di Jakarta. Rizky menambahkan, aturan ini juga memungkinkan kontraktor dapat menanggung pembiayaan terlebih dahulu, untuk diperhitungkan kemudian dalam pembagian dividen nantinya. “Paling tidak substansi Permen ESDM 37/2016 dapat mengurangi celah pemburu rente yang justru merugikan daerah,” tegas Rizky.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia mengingatkan bahwa PI adalah hak daerah untuk berpartisipasi sekaligus berperan aktif dalam pengelolaan migas untuk kesejahteraan masyarakat di daerah penghasil. PI tidak boleh dimaknai sebagai pembagian saham untuk daerah tanpa syarat, tanpa kewajiban dan hanya berorientasi pembagian keuntungan semata. “Mengelola PI artinya daerah harus membayar kewajiban keikutsertaan modal dengan besaran maksimal 10%; terikat dengan poin-poin kontrak kerjasama yang juga bersedia menanggung risiko apabila merugi,” jelas Maryati.

Tujuan pemberian PI melalui BUMD, lanjut Maryati, agar daerah dapat benar-benar berpartisipasi dalam pengelolaan hulu migas, termasuk untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas tata kelola, alih teknologi, serta melakukan pengawasan langsung kinerja industri migas di daerah-mulai dari tahap perencanaan sampai evaluasi. Tentu saja, untuk melakukan hal tersebut dibutuhkan kapasitas SDM maupun manajemen BUMD yang benar-benar kuat dalam memahami bisnis proses di sektor hulu migas.

“Mengingat berakhirnya blok-blok migas yang semakin dekat, sejauh mana daerah penghasil migas menyiapkan BUMD yang akan mengelola PI? Sudahkah dipersiapkan kelembagaannya, SDM-nya, regulasi daerahnya, mekanisme transparansi dan akuntabilitasnya, pengawasannya? Pemerintah Pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah harus benar-benar memperkuat koordinasi agar pengelolaan PI ini berjalan sesuai dengan track-nya” imbuh Rizky.

Carolus Tuah, Direktur Pokja-30 Kalimantan Timur mengingatkan bahwa BUMD pengelola PI harus menjunjung asas transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan PI. BUMD harus membuka rencana kelola PI, rencana usaha serta mempublikasikan laporan tahunan yang telah audit. Dengan demikian, masyarakat dapat ikut mengawasi pengelolaan PI. Karena memang tujuan besar pengelolaan PI oleh daerah adalah untuk sebesar-besarnya kebermanfaatan bagi masyarakat daerah.

“Tantangan selanjutnya adalah membuktikan bahwa BUMD adalah instrumen daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah maupun peningkatan penerimaan daerah. Selama ini, BUMD identik dengan kinerja yang buruk, tidak transparan dan akuntabel, rawan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta hanya menjadi “sapi perah” pejabat dan politisi korup. Jangan sampai PI terus mengulang fenomena bagi daerah kaya migas, dari berkah menjadi kutukan,” pungkas Carolus Tuah.

Sebagai catatan, setidaknya ada 10 (sepuluh) blok migas yang akan berakhir masa kontraknya sampai 2018, dimana Pemerintah telah menunjuk Pertamina untuk mengelolanya yaitu blok Offshore Northwest Java (ONWJ), blok Mahakam (Total E&P Indonesia), blok Attaka (Inpex Corporation), blok South East Sumatera (CNOOC), blok East Kalimantan (Chevron Indonesia Company), blok Tengah (Total E&P Indonesia), blok North Sumatera Offshore (Pertamina), blok Tuban, blok Ogan Komering dan Blok Sanga-Sanga.

Narahubung: Rizky Ananda | rizkyananda@pwyp-indonesia.org

Catatan Editorial :
 Permen No 37/2016 turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2009 tentang Perubahan PP Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas yang menegaskan kewajiban kontraktor untuk menawarkan PI (maksimal) 10% kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau perseroan terbatas dalam mengelola blok migas. Aturan ini juga mengatur tentang ketentuan tentang BUMD yang dapat mengambil PI, yakni berupa BUMD yang seluruh kepemilikan sahamnya dimiliki oleh pemerintah daerah; atau perseroan terbatas yang paling sedikit 99% sahamnya dimiliki oleh pemerintah daerah dan sisa kepemilikan sahamnya terafiliasi seluruhnya dengan pemerintah daerah; disahkan melalui peraturan daerah; dan tidak melakukan kegiatan usaha selain pengelolaan PI.

• Sebagai contoh, dalam kasus pengelolaan PI di Blok Cepu. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro, melalui PT. Asri Dharma Sejahtera (ADS) memegang 4,4847% saham pengelolaan Blok Cepu yang setara dengan Rp 2,7 triliun pada saat itu (tahun 2006). Namun karena proyek pembiayaan membutuhkan biaya yang tinggi, maka Pemkab Bojonegoro menjalin kerjasama pembiayaan dengan PT. Surya Energi Raya (SER) dengan komposisi saham 75% untuk SER dan 25% untuk ADS. ADS mendapatkan bagian yang kecil karena semua pembiayaan yang dikeluarkan untuk Blok Cepu didanai oleh SER, dimana pendanaan SER sendiri dilakukan melalui pinjaman kepada pihak ketiga, yaitu China Sonangol International Holding Ltd. Akibatnya, dividen yang dihasilkan digunakan untuk membayar hutang. Sementara pemerintah daerah baru menikmati keuntungan setelah utang lunas dibayar.