JAKARTA – Koalisi masyarakat sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mendesak pemerintah untuk memutus kontrak kerjasama dengan Lapindo Brantas Inc., baik kegiatan eksplorasi maupun ekspolitasi di  Sidoarjo. Langkah pemerintah yang hanya menghentikan sementara dan akan mengkaji ulang rencana pengeboran sumur Tangggulangin 6 dan 10 di Desa Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Siodarjo, Jawa Timur, dinilai tidak memadai untuk menyelesaikan persoalan di lapangan.

Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi dan Jaringan PWYP Indonesia, menyatakan upaya pengeboran sumur gas oleh PT Lapindo Brantas yang dianggap tidak memiliki perizinan yang lengkap, sudah menjadi alasan yang cukup kuat untuk mencabut izin operasi Lapindo Brantas. “Apa yang terjadi di Dusun Kaliwungu, Desa Banjarasri, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo dalam beberapa hari terakhir, hanya menunjukkan jika operasi Lapindo Brantas sarat dengan permasalahan, mulai dari aspek perizinan, standar operasional teknis pelaksanaan ekplorasi atau eksploitasi, hingga ketidaksengajaan Lapindo Brantas dalam menangani aspek sosial dan kemasyarakatan,” tuturnya Rabu (14/1).

Menurut Aryanto, pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman Lapindo Brantas dalam menangani semburan lumpur panas di Porong yang sejak tahun 2006 sampai sekarang belum tuntas, akibat kecerobohan perusahaan tersebut dalam melakukan eksplorasi di sumur Banjar Panji 1 (BJ-1).  “Dampaknya sudah kita lihat bersama, yaitu matinya pundi-pundi kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan masyarakat Sidoarjo. Belum lagi dengan uang negara yang harus dikeluarkan untuk menanggung ganti rugi maupun memberikan dana talangan untuk Lapindo Brantas,” jelas Aryanto.

Pengkajian ulang izin pengeboran Lapindo Brantas, mengindikasikan lemahnya fungsi perencanaan dan pengawasan baik dari Dirjen Migas Kementerian ESDM, SKK Migas maupun Pemerintah Daerah.  “Pemerintah seolah menutup mata terhadap penolakan masyarakat akan aktivitas Lapindo Brantas. Seharusnya, kejadian di Desa Banjarasri tidak akan terjadi apabila pemerintah benar-benar menjalankan fungsinya dengan baik,” imbuh Aryanto.

Fatihul Faizun, Koordinator Pusat Advokasi Kebijakan (PUSAKA) Sidoarjo menyampaikan, jarak titik sumur baru dengan pemukiman warga yang hanya 105 meter dan sekaligus cukup dekat dengan titik semburan lumpur panas yang masih aktif memberikan kekhawatiran sekaligus trauma masyarakat akan kejadian yang menimpa warga Sidoarjo sebelumnya.

Rencana pengeboran sumur di Sumur Tanggulangin (TGA)-6 di well pad TGA-1 dan Tanggulangin (TGA)-10 di well pad TGA-2 yang dekat dengan pemukiman mengingatkan masyarakat akan kejadian 9 tahun lalu dimana lokasi pemboran Sumur BJP-1 berada 5 meter dari wilayah permukiman,  37 meter dari sarana umum (jalan tol Surabaya – Gempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Selain Sumur BJP-1, terdapat sejumlah sumur-sumur eksploitasi (sudah produksi) yang dikelola oleh LBI yang jarak lokasinya kurang 100 meter dari permukiman, yaitu Sumur Wunut-3, Wunut-4, Wunut-5, Wunut-6, Wunut-16 Wunut-20, dan Carat-1. Sementara Sumur Wunut-19 dan Carat-2 letaknya juga diperkirakan kurang 100 meter dari sarana umum dan pipa gas.

“Sayangnya masyarakat tidak pernah mendapatkan informasi yang akurat, terutama yang terkait dengan dampak lingkungan akibat rencana pengeboran tersebut. Sesuai dengan PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, dalam proses pemberian izin lingkungan, termasuk UKL-UPL, perusahaan wajib menginformasikan kepada masyarakat di lokasi kegiatan pengeboran dan masyarakat berhak memberikan pendapat dan tanggapan atas izin tersebut. Alih-alih mendapatkan informasi yang tepat, masyarakat malah dihadapkan dengan pengerahan ratusan aparat yang justru meningkatkan keresahan masyarakat,” terang Faizun.

Padahal, lanjut dia, jika memang perusahaan telah menyatakan sudah mendapat izin dan mitigasi resiko telah dilakukan seharusnya hasilnya perlu dibuka ke publik. Publik berhak tahu atas potensi resiko operasi pengeboran. Tidak hanya mencegah kesimpangsiuran informasi, publik juga bisa ikut mengawasi,” imbuh Faizun.

Dakelan, Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Jawa Timur menyampaikan Pemberian izin lokasi pemboran sumur Migas yang berdekatan dengan permukiman dan sarana umum serta obyek vital tidak sesuai dengan  Ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia No. 13-6910-2002  tentang operasi pengeboran darat dan lepas pantai di Indonesia ketentuan ini menyebutkan bahwa sumur-sumur harus dialokasikan sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, pekerjaan umum,  perumahan atau tempat-tempat lain dimana sumber nyala dapat timbul. “Pemberian izin lokasi sumur eksplorasi Migas di wilayah pemukiman juga tidak sesuai dengan Inpres No. 1/1976 tentang sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan,  pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum dan UU No. 11/1967,” kata Dakelan.

Selain itu dalih pembayaran utang Lapindo Brantas kepada pemerintah sebesar Rp 781 miliar untuk ganti rugi warga korban lumpur 6 tahun silam sebagai alasan utama pengeboran tidak bisa dibenarkan. “Tidak ada jaminan Lapindo akan menggunakan pendapatan pengeboran migas ini untuk melunasi hutang yang tenggat waktu pembayarannya tinggal 3 tahun lagi. Ditambah lagi dengan track record Lapindo yang sampai sekarang belum menyelesaikan ganti rugi,” tukas Dakelan.