Jakarta – Pemerintah Indonesia menyatakan telah mencapai kesepatakan final dengan PT Freeport Indonesia dalam pertemuan hari Minggu 27 Agustus 2017 yang dihadiri oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan selaku Ketua Tim Perundingan Pemerintah dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, jajaran Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan, serta wakil dari Kementerian terkait seperti Kemenko Perekonomian, Kemenko Maritim, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian LHK, Kementerian BUMN, Sekretariat Negara, dan BKPM. Dari pihak Freeport hadir President dan CEO Freeport McMoran Richard Adkerson dan direksi PT Freeport Indonesia, dengan agenda finalisasi kesepakatan atas penyelesaian perselisihan yang terjadi setelah diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Secara umum, Pemerintah maupun Freeport McMoran dalam konferensi pers Menteri ESDM pada 29 Agustus 2017 menyatakan telah mencapai kesepakatan dalam hal perubahan bentuk landasan hukum pengusahaan pertambangan dari Kontrak Karya ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK); Divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51% untuk kepemilikan Nasional Indonesia; Kewajiban pembangunan smelter paling lambat 2022; dan stabilitas penerimaan negara; serta persetujuan perpanjangan masa operasi hinggal maksimal 2×10 tahun hingga 2041 dengan syarat PTFI menyepakati klausul 1 sampai dengan 4 pada poin sebelumnya.

Menanggapi perkembangan tersebut, Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Maryati Abdullah menyatakan poin kesepakatan tersebut masih perlu dirinci lebih lanjut, untuk memberikan kepastian yang lebih baik bagi pengelolaan dan kedaulatan pertambangan nasional. Hal tersebut mengingat bahwa kewajiban divestasi dan pembangunan smelter bukanlah hal baru, kedua hal tersebut telah tercantum di dalam Kontrak Karya dan persetujuan sebelum izin konsentrat diberikan Pemerintah. Kedua kewajiban tersebut sejatinya sudah terpenuhi per 2017-tahun ini. Yang sangat disayangkan, mengapa Pemerintah terkesan mengejar divestasi 51% di tengah kontrak yang menjelang habis per tahun 2021.

Bukankah per-2021 cadangan mineral Freeport di Papua menjadi milik Indonesia semua? Sedangkan upaya divestasi di awal tahun 2016 saja sulit mencapai kesepakatan antara kedua belah pihak karena perbedaan penafsiran nilai divestasi 10,64 % antara Freeport VS Pemerintah (Rp 23,6 Triliun VS Rp 8,19 Triliun). Logikanya, bukankah ini hampir mirip dengan meminta Indonesia membiayai pembangunan smelter melalui divestasi hingga 51%.

Lebih lanjut Maryati menambahkan, banyak arena critical yang masih kosong dan rawan terjadinya perselisihan ataupun deadlock yang patut diwaspadai oleh Pemerintah dan memerlukan pengawasan publik, termasuk pengawasan oleh DPR. Titik kritis tersebut antara lain: (1) Mekanisme penentuan nilai dan pelepasan saham, serta kerangka waktunya. Potensi deadlock akan terjadi pada metode pendekatan perhitungan dan pencakupan cadangan bawah tanah dalam valuasi; (2) Mekanisme penerbitan IUPK, tanpa penetapan kawasan pertambangan Freeport sebagai Wilayah Pencadangan Negara (WPN) sebagai prasyarat IUPK-Pemerintah rawan melanggar ketentuan Undang-Undang; (3) Rezim fiskal dalam skema IUPK, diperlukan kejelasan lebih detail mengenai ketentuan fiskal yang dianggap sebagai upaya stabilisasi dan menjamin penerimaan negara yang lebih besar dari skema KK saat ini. Faktor volatilitas harga dan kecenderungan tren dan arah regulasi fiskal perlu menjadi variabel yang diperhitungkan dalam skema ini.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menekankan, atas situasi tersebut Pemerintah perlu segera memperjelas kesepakatan dengan Freeport, dan menentukan mekanisme compliance dan penalty jika Freeport gagal melakukan apa yang telah menjadi kesepakatan, misalnya: gagal membangun smelter tahun 2022 atau telat melakukan divestasi 51%, dan sebagainya.

Mengingat dua kesepakatan mengenai divestasi dan pembangunan smelter hingga sekarang belum terealisasi dengan baik. Terlebih jika pokok-pokok kesepakatan yang dikemukakan kemarin belum tertuang dalam hitam di atas putih yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.

Manajer advokasi Publish What You Pay Indonesia, Aryanto Nugroho mengingatkan agar Pemerintah jangan terlalu sering memberikan toleransi tanpa batas kepada Freeport di tengah progres komitmen yang tersendat, misalnya pemberian izin ekspor konsentrat tanpa mensyaratkan perkembangan pembangunan smelter atau pelonggaran tarif bea keluar seperti yang diindikasikan beberapa waktu lalu. Apalagi, jika ditengarai Pemerintah justru mengambil tindakan yang justru bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia.

Di sisi lain, Publish What You Pay menyesalkan proses perundingan antara Pemerintah Indonesia dan PT Freeport yang mengesampingkan pertimbangan lingkungan dan kepentingan masyarakat lokal dan terdampak dalam pembahasan. Sampai hari ini belum jelas langkah Pemerintah dalam menindaklanjuti indikasi enam pelanggaran lingkungan yang dilakukan PT. Freeport Indonesia, berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Penerapan Kontrak Karya PT Freeport tahun 2013-2015.

Diantaranya mengenai penggunaan kawasan hutan lindung, kelebihan pencairan jaminan reklamasi, penambangan bawah tanah tanpa izin lingkungan, kerusakan karena pembuangan limbah di sungai, muara dan laut, hutang kewajiban dana pascatambang dan penurunan permukaan akibat tambang bawah tanah. BPK menghitung potensi kerugian negara oleh Freeport senilai Rp185,563 triliun. Yang jika diperbandingkan, nilai lebih besar dari angka tawaran divestasi 10,64% saham Freeport di awal tahun 2016.