Sebagai rangkaian program SETAPAK yang didukung oleh The Asia Foundation, PWYP Indonesia bersama mitra lokal SETAPAK menyelenggarakan multi-stakeholder forum dan capacity building dengan tema besar tata kelola hutan dan lahan. Kegiatan multi-stakeholder forum dan capacity building diadakan di dua daerah SETAPAK, yaitu Aceh dan Kalimantan Barat.

Untuk di Aceh, PWYP Indonesia bekerjasama dengan Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) dalam penyelenggaraan multi-stakeholder forum dan capacity building untuk organisasi masyarakat sipil pada 25-26 Agustus 2014 dengan tema mekanisme penerimaan di sektor ekstraktif (migas, mineral dan batu bara serta kehutanan). Adapun peserta yang hadir dalam kegiatan multi-stakeholder forum ini meliputi perwakilan dari dinas-dinas pemerintah provinsi Aceh, yang meliputi Dinas Kehutanan, Dinas Pertambangan, Dinas Pendapatan Daerah dan sebagainya, anggota legislatif terpilih juga akademisi.

Inti pembahasan dalam multi-stakeholder forum tersebut adalah menyoal titik-titik penting penerimaan negara dari industri ekstraktif yang masih menjadi masalah bagi stakeholder baik pemerintah daerah, masyarakat serta pelaku usaha. Di akhir diskusi, nantinya muncul beberapa rekomendasi atau mekanisme perbaikan dalam memaksimalkan penerimaan, memperbaiki tata kelola pertambangan serta mendorong terbangunnya mekanisme transparansi dan akuntabilitas dari industri ekstraktif itu sendiri untuk mencegah kebocoran akibat tidak optimalnya penerimaan negara.

Beberapa poin rekomendasi dari multi-stakeholder forum Aceh diantaranya adalah adanya akses informasi utamanya akses data dari pemerintah kepada masyarakat di sektor ekstraktif, pelibatan pemerintah daerah dalam memantau titik-titik penerimaan negara di sektor ekstraktif, optimalisasi penerimaan daerah dengan cara menutup titik-titik serta mendorong pengawasan independen untuk hasil produksi migas di Aceh hingga ke wilayah tambang. Sedangkan pada capacity building, output yang diharapkan adalah meningkatnya kesadaran dan pemahaman tentang mekanisme aliran penerimaan di ketiga sektor ekstraktif tersebut. Pemahaman soal aliran penerimaan sangat bermanfaat untuk mengadvokasi potensi kebocoran yang ada di sektor tersebut.

Sementara itu, untuk di Kalimantan Barat, PWYP Indonesia bekerjasama dengan Sahabat Masyarakat Pantai (SAMPAN) dalam penyelenggaraan multi-stakeholder forum yang mengusung tema “Penguatan Inisiatif Pemerintah dalam Melakukan Penataan Ijin Pertambangan di Provinsi Kalimantan barat” pada tanggal 1 September 2014. Forum ini dihadiri oleh perwakilan dari pemerintah provinsi, yaitu Dinas Pertambangan & Energi (Distamben) dan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPM-PTSP), Dr. Hermansyah (pakar hukum Universitas Tanjung Pura), dan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang tata kelola hutan dan lahan.

Pembahasan dalam forum ini dibagi menjadi tiga isu besar, yaitu gambaran dan update terkini mengenai tata perijinan tambang di Provinsi Kalimantan Barat, analisis legal perijinan tambang, dan diskusi guna merumuskan agenda organisasi masyarakat sipil dalam penataan ijin pertambangan di Provinsi Kalimantan Barat.

Dari diskusi yang berkembang, ditemukan adanya perbedaan data IUP di Kalimantan Barat antara KPK dan pemerintah provinsi. Dalam korsup KPK, IUP di Kalimantan Barat berjumlah 683, sedangkan menurut perwakilan Distamben Provinsi Kalimantan Barat, IUP yang ada berjumlah 813. Juga diakui oleh perwakilan Distamben adanya tumpang tindih wilayah antar IUP. Dilihat dari segi legal analysis, kebijakan yg multitafsir dan ego sektoral menjadi penyebab utama carut-marutnya tata perijinan tambang di Kalimantan Barat.

Di akhir diskusi, disimpulkan dua rekomendasi utama sebagai solusi atas permasalahan tata perijinan tambang di Kalimantan Barat, yaitu perijinan terpadu dan sinkronisasi serta harmonisasi kebijakan serta kewenangan antara pusat dan daerah. Dalam hal ini, peran organisasi masyarakat sipil menjadi sentral guna mengawal dan melakukan pengawasan tata perijinan tambang di Kalimantan Barat .