Pernyataan Sikap Forum Pajak Berkeadilan Indonesia
Gelombang unjuk rasa yang merebak di berbagai wilayah di Indonesia bagaikan ledakan bom waktu atas ketidak piawaian pemerintah dalam mengelola negara, sekaligus mencerminkan akumulasi kekecewaan publik atas persoalan sosial ekonomi yang kian kompleks serta dinamika politik yang tidak berpihak pada rakyat. Salah satu tuntutan yang digaungkan oleh masyarakat sipil dalam Tuntutan Rakyat 17+8 adalah mengenai reformasi perpajakan yang lebih adil dengan mempertimbangkan keseimbangan transfer APBN dari pusat ke daerah, evaluasi rencana kenaikan pajak yang memberatkan rakyat, dan urgensi reformasi perpajakan yang adil dan berpihak pada rakyat. Kami, Forum Pajak Berkeadilan Indonesia mengamati dan menilai bahwa pemerintah belum menjawab berbagai permasalahan mendasar perpajakan di Indonesia:
1. Pengelolaan APBN yang serampangan
Selama lebih dari satu dekade terakhir, ruang fiskal Indonesia tidak mengalami perbaikan yang signifikan dengan rasio pajak stagnan di kisaran 10–11%, jauh tertinggal dari rata-rata negara lain di Asia. Namun, belanja pemerintah pusat kian meroket, mencapai 3,786 triliun di RAPBN tahun 2026. Sepertiganya dialokasikan untuk program-program prioritas populis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih, sekolah rakyat, hilirisasi, dan subsidi energi yang manfaatnya belum banyak dirasakan rakyat. Ketergantungan terhadap utang pun semakin tinggi, hingga 781,6 triliun di RAPBN 2026.
2. Reformasi pajak yang setengah-setengah
Pemerintah gencar menaikkan tarif pajak, seperti PPN menjadi 12% dan Pajak Bumi dan Bangunan sebesar dua hingga tiga kali lipat di tengah badai PHK dan tekanan ekonomi yang dihadapi masyarakat. Sementara itu, pemerintah belum mampu menyentuh akar masalah struktural perpajakan: sektor informal yang tinggi (59,40% pada Februari 2025), ketidakadilan beban pajak, dan kurangnya transparansi kebijakan. Selain itu, Core Tax Administration System (CTAS) belum digarap secara maksimal.
Persoalan semakin pelik akibat penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional, terutama melalui praktik pemindahan keuntungan (profit shifting) ke negara dengan tarif pajak rendah. Praktik ini menyebabkan negara kehilangan potensi penerimaan hingga miliaran rupiah setiap tahun. Tax ratio pada semester I 2025 merosot menjadi 8,42%, turun dari 9,49% pada periode yang sama tahun lalu. Angka ini menandai krisis serius dalam kapasitas negara untuk membiayai pelayanan publik, infrastruktur, hingga program pengentasan kemiskinan.
Sehubungan dengan pergantian posisi Menteri Keuangan dalam reshuffle kabinet Senin (8/9), Forum Pajak Berkeadilan Indonesia mendesak Menteri Keuangan yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa untuk menunjukkan komitmen nyata dengan segera mengambil langkah-langkah berikut:
- Menuntaskan Reformasi Pajak yang Adil dan Progresif
- Memberlakukan pajak kekayaan (wealth tax), pajak warisan, dan instrumen pajak progresif lainnya untuk kelompok super kaya dan korporasi besar.
- Menghentikan tax amnesty, tax allowance, dan insentif pajak lainnya yang memperlebar ketimpangan antara kelompok super kaya dan masyarakat luas.
- Sebaliknya, insentif diberikan pada upaya untuk perwujudan ekonomi perawatan dengan instrumen kebijakan yang mendukung perempuan, dan kelompok rentan lainnya menjadi pelaku ekonomi.
- Mendorong terwujudnya kesepakatan global, UN Tax Convention untuk menghapus segala bentuk dan praktik-praktik penghindaran pajak.
- Mewujudkan Keadilan Fiskal antara Pusat dan Daerah
- Membatalkan pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) untuk mengurangi kesenjangan pusat–daerah.
- Memastikan pemerintah daerah memiliki kapasitas dan ruang fiskal memadai untuk memberikan layanan publik yang merata.
- Memastikan reformasi pajak maupun transfer fiskal pusat–daerah diinvestasikan secara memadai untuk pembangunan berkelanjutan.
- Mengalihkan alokasi anggaran dari program pro-ekstraksi menuju program yang mendukung keberlanjutan sosial, ekonomi, dan ekologis.
- Menginvestasikan kembali hasil aktivitas ekstraktif untuk pemulihan lingkungan serta perlindungan sumber daya alam hayati yang tersisa.
- Menjadikan proteksi dan pemulihan sebagai investasi jangka panjang, dengan alokasi anggaran pemerintah yang memadai dan terukur.
- Memulihkan Kepercayaan Publik melalui Akuntabilitas Pajak
- Menjamin transparansi dalam kebijakan pajak, serta memperkuat partisipasi masyarakat sipil dalam proses perumusan dan evaluasi.
- Memberantas korupsi, penghindaran pajak, dan praktik penggelapan pajak oleh korporasi multinasional yang merugikan negara dengan menerapkan Automatic Exchange of Information (AEOI), Beneficial Ownership (BO), dan Country-by-Country Reporting.
- Mengutamakan Belanja Publik untuk Kesejahteraan Rakyat
- Mengarahkan pendapatan pajak untuk mendanai sektor prioritas rakyat yang mengurangi ketimpangan dan keadilan ekologis: pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, perawatan, dan transisi energi berkeadilan serta upaya peningkatan kerja layak di Indonesia.
- Evaluasi proyek populis seperti MBG, Danantara, Koperasi Merah Putih yang mengorbankan keberlanjutan fiskal jangka panjang.
Narahubung:
- PRAKARSA : amaftuchan@theprakarsa.org
- PWYP Indonesia : meliana@pwypindonesia.org
- INFID : snimah@infid.org
- IGJ : audina@igj.or.id
- PUSKAHA : puskahaindonesia@gmail.com
- PENABULU : sugiarto.santoso@penabulu.id
Tentang Forum Pajak Berkeadilan Indonesia:
Forum Pajak Berkeadilan Indonesia (FPBI) merupakan sebuah koalisi masyarakat sipil yang dibentuk pada tahun 2013 untuk mendorong sistem perpajakan yang adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan publik. Dibentuk sebagai respons terhadap ketidakadilan dalam sistem perpajakan nasional, FPBI beranggotakan organisasi non-pemerintah, akademisi, dan aktivis yang fokus pada isu keadilan fiskal, transparansi, dan redistribusi kekayaan di Indonesia. FPBI juga menunjukkan peran kritisnya dalam menentang kebijakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak yang dinilai berpotensi memperpanjang praktik kejahatan perpajakan di Indonesia. FPBI juga aktif mengusulkan pembentukan Satuan Tugas Anti Aliran Uang Ilegal untuk menangani dugaan kejahatan keuangan yang melibatkan dana ilegal, khususnya di sektor pertambangan.
Informasi Tambahan
Penghindaran Pajak
Penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggelapan pajak (tax evasion) merupakan praktik yang memperburuk masalah ekonomi informal. Penghindaran pajak melibatkan penggunaan celah hukum untuk meminimalkan kewajiban pajak, sementara penggelapan melibatkan tindakan ilegal seperti underreporting pendapatan atau pemalsuan dokumen. Studi Bank Dunia pada akhir 2024 mengungkapkan bahwa sekitar 25 persen perusahaan formal di Indonesia terlibat dalam penghindaran pajak, dengan tingkat evasion bervariasi antara 20-38 persen tergantung pada persepsi terhadap administrasi pajak sebagai hambatan. Penelitian terbaru pada 2025 menunjukkan bahwa faktor seperti distress finansial perusahaan, profitabilitas tinggi, dan koneksi politik mendorong praktik ini, khususnya di sektor transportasi dan manufaktur.
Ketidakadilan Pajak terhadap Perempuan dan Kelompok Rentan
Pelaksanaan sistem pajak dengan asumsi netral berdampak pada perempuan secara tidak proporsional. Seorang ibu rumah tangga yang tidak bekerja serta tidak memiliki jaminan dan perlindungan sosial memiliki kesulitan untuk membeli sabun cuci, popok dan kebutuhan lainnya akibat dampak langsung dari kenaikan PPN. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia dihadapkan pada pilihan pengurangan biaya pendidikan atau pemenuhan gizi keluarga. Sebagai perempuan dan kelompok rentan, mereka tidak memiliki pilihan untuk melakukan penghindaran pajak, tidak ada libur pajak, dan dipaksa untuk mengorbankan kebutuhan dasarnya untuk sekedar bertahan hidup. Oleh karenanya, pemerintah wajib meningkatkan rasio pajak melalui alternatif penarikan pajak lainnya yang tidak menggerogoti daya beli masyarakat miskin dan kelas pekerja. Selain itu, sistem pajak penghasilan yang diterapkan selama ini memberikan insentif secara otomatis pada laki-laki sebagai kepala keluarga dengan potongan penghasilan tidak kena pajak yang lebih tinggi.
Ketimpangan yang Semakin Lebar dari Kebijakan Fiskal yang Ugal-ugalan
Ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia tahun 2019-2022 menunjukkan peningkatan, rasio GINI tahun 2019 sebesar 0,382 naik menjadi 0,384 pada 2022. Data Oxfam menunjukkan posisi Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas berada di peringkat 105 dari 164 negara dalam Indeks Komitmen untuk Mengurangi Ketimpangan (CRI). Total belanja pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial yang hanya sebesar 36% menempatkan Indonesia pada peringkat 95 dari 164 negara. Cakupan pelayanan publik juga ada di peringkat bawah yakni 116, menyebabkan rendahnya pengeluaran untuk mengatasi ketimpangan.
Kebijakan fiskal yang ugal-ugalan dengan alokasi anggaran yang tidak tepat sasaran melalui program-program prioritas yang berbiaya besar namun minim perencanaan menyebabkan eksploitasi APBN secara serampangan. Padahal, pengelolaan dan penggunaan anggaran yang bersumber dari penerimaan pajak dengan yang berpihak pada kepentingan rakyat adalah kunci penting dalam upaya menurunkan ketimpangan.
Kinerja Penerimaan Pajak hingga Maret 2025 dan Dampaknya terhadap Utang Negara
Hingga akhir Maret 2025, penerimaan pajak mencapai sekitar Rp 400,1 triliun, yang mencakup pajak, bea cukai, dan cukai. Namun, ini masih di bawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Pada Februari 2025, penerimaan pajak hanya Rp187,8 triliun, atau 8,6% dari target tahunan, dengan penurunan 30,19% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Faktor penyebab shortfall meliputi:
- Penurunan Ekonomi dan Sektor Kunci: Penurunan pendapatan dari sektor pertambangan, industri, dan jasa keuangan, dipengaruhi oleh ketidakpastian global dan kebijakan domestik.
- Gangguan Sistem dan Restitusi: Peningkatan restitusi pajak dan masalah teknis pada sistem CoreTax berkontribusi pada penurunan awal tahun.
- Defisit Anggaran Awal Tahun: Penurunan pendapatan negara secara keseluruhan menciptakan defisit langka di awal tahun, yang memaksa pemerintah untuk meningkatkan pinjaman baru guna membiayai belanja, termasuk infrastruktur dan layanan publik. Menteri Keuangan menyatakan bahwa target penerimaan pajak 2025 kemungkinan tidak tercapai, sehingga utang menjadi instrumen utama untuk menutup gap fiskal.
Kondisi ini semakin memprihatinkan jika dilihat dari sisi pembiayaan. Pembayaran bunga utang saja kini telah memakan lebih dari 20% dari total penerimaan negara, dan jika digabung dengan pokok utang, total beban utang telah melampaui 40% dari pendapatan negara. Lebih buruk lagi, imbal hasil (yield) obligasi negara Indonesia yang mencapai sekitar 7% menjadikan Indonesia kalah kompetitif dibandingkan negara-negara Asia lainnya, sekaligus memperberat biaya utang jangka panjang.
Alih-alih memperkuat fondasi fiskal melalui reformasi perpajakan yang progresif dan berkeadilan, pemerintah justru terus memperdalam ketergantungan pada instrumen utang. Dalam konteks ini, utang bukan hanya solusi fiskal jangka pendek, melainkan menjadi gejala dari gagalnya restrukturisasi sistem pajak yang mengakar.