Forum Pajak Berkeadilan (FPB) mendesak Pemerintah dan DPR untuk menghentikan pembahasan RUU Pengampunan Pajak karena dianggap mencederai rasa keadilan. Sikap itu disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang dipimpin oleh Ketua Komisi 11, Ahmad Noor Supit beberapa waktu lalu di Kompleks DPR RI, Senayan.

Ah Maftuchan, Koordinator Forum Pajak Berkeadilan mengungkapkan setidaknya ada beberapa hal mengapa RUU Tax Amnesty harus ditarik, “Pertama, RUU Tax Amnesty jelas mengabaikan aspek keadilan karena hanya segelintir orang super kaya yang menikmati. Sedangkan masyarakat kelas menengah ke bawah (kaum salariat bergaji bulanan) yang taat pajak sama sekali tidak mendapatkan manfaat dari tax amnesty. Kedua, banyak Studi menunjukkan bahwa tax amnesty bukanlah sesuatu yang baru, dan sebagian besar menunjukkan tidak efektif. Ketiga, solusi utama atas rendahnya penerimaan pajak di Indonesia adalah pada penegakan hukum dan reformasi sistem perpajakan, bukan pengampunan pajak,” tutur Maftuchan.

“Keempat, Forum Pajak Berkeadilan masih ragu dengan efektivitas pengampunan pajak terkait dengan data dan informasinya. Terkuaknya dokumen Panama Papers makin menguatkan bahwa rencana pemberian pengampunan pajak akan kontra-produktif terhadap upaya optimalisasi penerimaan pajak. Kelima, Forum Pajak Berkeadilan juga menanyakan seberapa besar kemampuan lembaga negara untuk menerima dan mengelola dana repatriasi.” Imbuh Maftuchan yang juga Direktur Eksekutif, Perkumpulan Prakarsa.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menyampaikan,”Pengampunan pajak tidak akan pernah berjalan dengan efektif di tengah buruknya sistem dan praktik perpajakan di Indonesia. Global Financial Integrity/GFI (2015) melaporkan bahwa potensi pajak yang menguap dari Indonesia karena praktik pelarian uang haram jumlahnya hampir Rp 200 Triliun tiap tahunnya diakibatkan rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak (kelompok kaya, superkaya, dan korporasi), tingginya prevalensi korupsi pajak, praktik penggelapan dan penghindaran pajak dengan metode perekayasaan keuangan keuangan yang rumit, dan rendahnya kinerja otoritas pajak Indonesia,” tegas Maryati.

Maryati menambahkan, Indonesia berada pada posisi ke-7 negara dari negara-negara yang memiliki aliran uang haram tertinggi. Dalam rentang tahun 2003-2012 Indonesia tercatat mengalirkan dana sebesar Rp. 1,699 triliun atau rata-rata pertahun mencapai Rp 167 triliun. ”Pemerintah harus menghentikan pembahasan RUU ini dan lebih fokus untuk melakukan langkah penegakan hukum maupun mempercepat reformasi sistem pajak di Indonesia. Lebih baik segera membahas RUU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) alih-alih membahas RUU Tax Amnesty.” imbuh Maryati.

Khoirun Nikmah dari INFID mengungkapkan bahwa tahun 2017 adalah momentum implementasi standar global Automatic Exchange of Information (AEOI) dimana setiap negara termasuk tax haven country harus membuka data nasabahnya. Seharusnya pemerintah lebih fokus menyiapkan segala instrumen untuk menyambut AEOI sebagai bagian dari upayta meningkatkan penerimaan pajak daripada memaksakan RUU Tax Amnesy.

“Sebelumnya Forum Pajak Berkeadilan juga telah membuat petisi online di change.org untuk menolak pembahasan RUU Tax Amnesty dan sudah ditandatangani oleh lebih dari 10 (sepuluh) ribu orang. Selain itu, Forum Pajak Berkeadilan juga sudah mengirimka surat terbuka untuk Presiden Jokowi untuk menghenntikan RUU Tax Amnesty.” Imbuh Nikmah.

Forum Pajak Berkeadilan yang terdiri atas Perkumpulan Prakarsa, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, International NGO for Indonesia Development (Infid), Transparency International Indonesia (TII) dan kelompok masyarakat sipil lainnya menegaskan bahwa RUU Tax Amnesty harus ditarik Program Legislasi Nasional (Prolegnas).