Pendanaan secara mandiri haruslah menjadi bagian dari visi dan misi setiap organisasi. Suka tidak suka, pengumpulan dana yang hanya mengandalkan bantuan pihak eksternal, alih-alih diinisiasi dan digerakkan oleh lembaga itu sendiri tidak akan bertahan lama. Sayangnya, masih banyak lembaga kemasyarakatan yang hanya mengandalkan donasi atau hibah dari pihak eksternal. Dengan kata lain, pendanaan di banyak organisasi masyarakat sipil masih terbilang belum adaptif dengan perkembangan zaman.

Berkaitan dengan isu tersebut, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia pada Jumat (2/4/2021) lalu mengadakan diskusi dengan tema Membangun Kemandirian Ekonomi Organisasi Masyarakat Sipil bersama beberapa narasumber, yaitu Ahmad Rifai dari Kota Kita dan Sely Martini dari Visi Integritas. Perbincangan tersebut membahas bagaimana strategi pendanaan lembaga non-pemerintah yang efektif pada era modern ini guna menjaga keberlangsungan organisasi. Selain strategi, tantangan dalam pendanaan khususnya terkait aspek independensi perjuangan organisasi juga tidak luput dari pembahasan.

Diskusi diawali oleh pemaparan Ahmad Rifai, co-founder dari Kota Kita, lembaga yang mewadahi diskursus dan penyebaran informasi tentang pembangunan kota sejak 2010 yang berpusat di Solo, Jawa Tengah. Kendati sudah berdiri sejak lama, organisasi ini baru memformalkan keberadaannya pada 2016 dimulai dari penyempurnaan website untuk menjangkau masyarakat umum. Menurut Rifai, sedikitnya ada dua hal yang harus diperhatikan dalam pendanaan lembaga independen.

Pertama, nilai jual lembaga. Organisasi independen harus memahami betul keunikan dan cara ‘menjual’ keunikan itu sendiri. Sebagai contoh, Kota Kita senantiasa mengunggulkan urban planning and participation dalam mencari dana. Masih berkenaan dengan menjual keunikan organisasi, sumber daya manusia yang mumpuni dan dapat bersaing menjadi hal yang tidak boleh dikesampingkan.

Kedua, organisasi independen harus menginvestasikan uang, tenaga, dan pikiran sepenuhnya pada kegiatan yang mengkampanyekan perjuangan. Misalnya, sebagai lembaga perencanaan dan tata kota, Kota Kita harus berupaya mengemas dengan sebaik mungkin kegiatannya yang membahas tentang inklusivitas pembangunan, misalnya pengadaan jalur sepeda untuk perempuan. Agar dapat menjangkau seluas-luasnya khalayak, lagi-lagi, sumber daya manusia yang unggul menjadi hal yang krusial. Untuk itu, Kota Kita pun tak ragu mengucurkan dana lebih untuk membiayai beberapa anggotanya untuk menempuh studi di Inggris dalam bidang urban communications, yang utamanya adalah untuk kepentingan ekspansi pengaruh pada media sosial.

Tantangan dari pencarian dana tersebut muncul ketika harus menentukan strategi secara spesifik. Menurut Rifai, langkah yang diambil tidak boleh melupakan sifat prinsipilnya, yakni independensi alih-alih bisnis. Ia memberikan contoh bagaimana Kota Kita menjual kaos dan berinisiatif untuk mengawal sebuah proyek di Banjarmasin untuk mempertahankan eksistensi organisasinya. Dengan mengawal proyek, tidak hanya menunjukkan komitmen Kota Kita terhadap pembangunan yang inklusif, tetapi juga menguntungkan penyelenggara proyek dengan adanya pihak yang memastikan bahwa proyek itu tidak bermasalah dalam sasaran dan pemanfaatannya.

Bila Rifai memfokuskan pembahasan pada sisi strategi spesifik, Selly Martini dari Visi Integritas menitikberatkan pada aspek legalitasnya dengan pemaparannya tentang peluang swakelola tipe 3 pada organisasi masyarakat sipil. Mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, organisasi masyarakat (ormas) merupakan pelaksana pengadaan jasa, sementara pemerintah daerah berfungsi sebagai pengawas. Untuk dapat melakukan swakelola tipe 3, ujar Selly, lembaga tersebut haruslah terdaftar di Kemenkumham dan memiliki neraca keuangan yang sudah diaudit dalam tiga tahun terakhir.

Untuk bermitra dengan pemerintah sendiri, organisasi masyarakat harus memiliki perjanjian kerja sama. Dalam konteks ini, menurut Rifai, organisasi tersebut harus mampu ‘menjual’ dirinya sedemikian rupa dan menawarkan keuntungan atau manfaat tertentu kepada pemerintah sebelum akhirnya bisa membuat perjanjian kerja sama.

Berkaitan dengan aspek kerja sama dengan pemerintah, timbul sebuah pertanyaan, “Bagaimana sekumpulan orang di suatu organisasi masyarakat, yang notabene adalah pekerja sosial dan bukan pebisnis, mampu menjaga berjalannya aliran dana yang menghidupi lembaga?”

Selly menerangkan bahwa yang harus dilakukan untuk pertama kali adalah menunjukkan transparansi dan akuntabilitas lembaga. Organisasi independen hendaknya aktif melaporkan rekam jejak dari kegiatan sebelumnya dan proaktif melaporkan progres programnya kepada pemerintah daerah. Hal itu dilakukan guna membangun kepercayaan pemerintah terhadap lembaga, sekaligus meyakinkan mereka bahwa mendanai sebuah lembaga independen dan bermitra dengan lembaga tersebut tidaklah salah.

Lembaga independen yang mandiri hendaknya juga turut memberi solusi nyata dan praktis terhadap isu yang mereka angkat. Sebagai contoh, dalam mewujudkan pembangunan inklusif di Banjarmasin, Kota Kita turut membantu membuka akses jalan dan menyediakan alat mobilitas bagi seorang difabel yang sulit keluar rumah.

Pembinaan sumber daya manusia yang mumpuni, transparansi, dan akuntabilitas adalah segalanya dalam menyokong kelangsungan organisasi independen. Sumber daya manusia yang mumpuni dibutuhkan dalam menyebarluaskan dan mengimplementasikan program, sementara transparansi dan akuntabilitas, seperti kesediaan untuk diaudit dan sikap proaktif dalam melaporkan program diperlukan untuk membangun kepercayaan antara lembaga dan pemerintah sebagai stakeholder. Dengan kepercayaan, maka pemerintah tidak akan sungkan untuk membantu pendanaan yang sangat penting bagi organisasi independen, di samping penggalangan dana secara mandiri yang dilakukan sehari-hari. (EN/AA)

Penulis: Ersya Nailuvar & Sholahudin al Ayubi
Editor: Aryanto Nugroho