Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) telah diusulkan sejak hampir 5 tahun lalu, pada 2 Februari 2015, dan menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Panjangnya proses pembahasan isi RUU dan DIM tersebut dianggap masih belum mampu menjawab berbagai persoalan terkait di sektor pertambangan. Maju mundurnya pembahasan RUU Minerba juga disebabkan oleh tarik ulur di antara fraksi dan pemerintah, serta berbagai persoalan yang muncul dalam pelaksanaannya selama ini.

Dalam rangka mengembangkan diskursus publik mengenai substansi dan hal-hal kritikal yang menjadi sorotan publik dalam Revisi UU Minerba tersebut, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bersama dengan Koalisi Masyarakat Kawal RUU Minerba menyelenggarakan Diskusi Publik bertajuk “RUU Minerba dan Masa Depan Tata Kelola Sektor Pertambangan di Indonesia” pada Senin (20/1), di Balai Kartini, Jakarta. Diskusi publik ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan kunci dari pembuat kebijakan, lintas kementerian/lembaga, sektor swasta, lembaga non-pemerintahan, think-thank, media dan masyarakat yang menaruh perhatian di sektor industri ekstraktif, kebijakan publik pembangunan, serta tata kelola pemerintahan dan sumber daya alam.

Fabby Tumiwa sebagai Ketua Dewan Pengarah PWYP Indonesia, memberikan pidato kunci dengan menjelaskan bahwa terdapat tiga aspek penting yang harus diperhatikan pemerintah; Pertama, paradigma dalam pemanfaatan tambang, dan upaya peralihan ke energi terbarukan; Kedua, mengenai tata kelola seperti aspek pengawasan, pengendalian, dan pembinaan produksi; Ketiga, perihal hilirisasi dan pemanfaatan batubara untuk kebutuhan energi domestik. Yang juga tidak kalah penting, tambahnya, “ialah mengenai perubahan rezim dari PKP2B ke IUPK, mengingat beberapa izin perusahaan akan habis dalam waktu dekat.”

Fabby berharap agar agenda Prolegnas untuk membahas RUU Minerba tidak lagi mundur ke periode berikutnya, mengingat UU Minerba ini merupakan salah satu yang penting dan memiliki urgensi besar tidak hanya dalam konteks tata kelola pertambangan di Indonesia melainkan juga kebijakan energi nasional. Oleh karenanya, pembahasan RUU Minerba nantinya perlu menyentuh persoalan-persoalan tersebut.

Lebih jauh mengenai pemanfaatan pertambangan minerba, Fabby mencontohkan, bahwa dalam Perpres No.22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), telah dinyatakan bahwa batubara tidak hanya dijadikan komoditas ekspor melainkan sebagai modal pembangunan. Artinya, pemanfaatan batubara di dalam negeri untuk kebutuhan energi nasional perlu ditingkatkan. Selain itu, disebutkan juga kebijakan pemerintah untuk membatasi produksi batubara sebesar 400 juta ton pada 2019. Namun, dalam kenyataannya, terjadi inkonsistensi dimana realisasi produksi batubara tahun 2019 tercatat sudah lebih tinggi dari target tersebut, bahkan lebih tinggi dari kuota. Demikian juga rencana produksi batubara tahun 2020 sebesar 550 juta ton telah melampaui batas yang ditetapkan dalam RUEN.

Dr. Tri Hayati, Akademisi Universitas Indonesia, menyoroti kaitan antara RUU Minerba dan Omnibus Law yang menurutnya harus diletakkan pada landasan filosofi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Hal yang sama juga disebut oleh Rizal Kasli, selaku Ketua Umum PERHAPPI (Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia).

Meski begitu, Dr. Tri Hayati menaruh kekhawatiran terhadap substansi Omnibus Law. “Yang saya khawatirkan mengenai Omnibus Law, apakah antar sektor bisa saling singkron dan harmonis, karena masing-masing sektor memiliki karakteristik yang berbeda.” Kekhawatiran ini juga disampaikan oleh Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia, dengan mengatakan bahwa “usulan Omnibus Law ini baru terdengar saat presiden dilantik, dan tidak ada dalam kampanye presiden. Saya khawatir keinginan transformasi ekonomi sebagaimana diamanatkan UUD 45 Pasal 33 terlalu disederhanakan menjadi hanya terkait ease of doing business atau sekadar entry to business, dan bukan sebagai sustainability business”.

Di sisi lain, Heriyanto selaku Kasubdit Bimbingan Usaha Batubara, Kementerian ESDM, dalam paparannya menyampaikan capaian kinerja 10 tahun pengelolaan pertambangan minerba. Beberapa poin tersebut yaitu seputar penataan izin usaha pertambangan, dimana Heriyanto mengklaim sudah terdapat 3.600-an IUP dari 10.000 yang ditertibkan dan berstatus Clean and Clear. “IUP yang terdaftar inilah yang bisa melakukan produksi, sementara yang lainnya kita anggap ilegal” Terang Heriyanto. Adapun kinerja lainnya yaitu mengenai amandemen KK/PKP2B, peningkatan nilai tambah sektor hulu mineral dalam penyediaan bahan baku industri hilir, peningkatan penerimaan negara, sistem perizinan online, sistem pengawasan online terintegrasi, serta penyederhanaan regulasi dan perizinan.

Ahmad Hanafi, Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC), lebih dalam menyoroti masalah dalam proses penyusunan Omnibus Law, yang menurutnya perlu didiskusikan secara mendalam dan teliti lagi, sehingga diharapkan RUU yang hendak menyasar puluhan UU tersebut dapat lebih melibatkan banyak pihak dan tentunya membutuhkan waktu lebih lama. “Pengalaman DPR periode lalu, RUU yang masuk Prolegnas rata-rata paling cepat dibahas dalam 2 (dua) tahun. Oleh karenanya, Omnibus Law yang ingin diselesaikan dalam waktu singkat ini tampak terburu-buru dan berpotensi mengurangi proses partisipasi publik. Jangan sampai ada hak-hak publik yang tidak didengarkan” Ujarnya. (AA)