PWYP Nilai Pemerintah Gagal Mengawasi Pertambangan Minerba di IKN.

TEMPO.CO, Jakarta – Koalisi Publish What You Pay (PWYP) menuntut pemerintah bertanggung jawab dan segera mereformasi tata kelola sektor pertambangan, khususnya aspek pengawasan, untuk mencegah praktik ilegal di sektor mineral dan batu bara (minerba), terutama di kawasan prioritas seperti Ibu Kota Nusantara (IKN).

PWYP menilai pemerintah gagal mengawasi pertambangan ilegal di wilayah IKN dan Kawasan Konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto sejak 2016. “Kegiatan eksploitasi itu menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 5,7 triliun dan deplesi batu bara Rp 3,5 triliun serta kerusakan kawasan Tahura mencapai Rp 2,2 triliun,” kata peneliti PWYP, Adzkia Farirrahman.

Adzkia menegaskan kasus ini bukan sekadar insiden, melainkan sinyal lemahnya pengawasan pemerintah di sektor minerba. “Bagaimana mungkin tambang ilegal bisa beroperasi sangat lama di kawasan prioritas tanpa terdeteksi, aktivitas pertambangan ilegal ini diduga sudah terjadi sejak 2016,” ujarnya.

Ia mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera mengevaluasi dan memperbaiki sistem pengawasan pertambangan minerba, termasuk membangun sistem deteksi dini. Ia juga mendorong audit terhadap seluruh pemegang izin usaha pertambangan (IUP) di wilayah IKN.

PWYP meminta pemerintah memberikan sanksi kepada perusahaan yang terlibat pemalsuan dokumen, memperkuat sistem pemantauan digital, dan melibatkan masyarakat dalam proses pengawasan.

Kasus pertambangan ilegal ini mencuat setelah Bareskrim Polri menangkap tiga tersangka penyelundupan batu bara dan menyita 351 kontainer. Para pelaku memalsukan dokumen perusahaan pemegang IUP seperti PT MMJ dan PT BMJ untuk mengelabui petugas di Pelabuhan Kariangau Terminal (KKT) Balikpapan saat pengiriman menuju Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.

Anggota koalisi PWYP, Buyung Mawarjo, menyebut banyak aktivitas pertambangan ilegal di Kalimantan Timur belum tersentuh hukum. Hal ini, menurutnya, mencerminkan kegagalan penegakan hukum terhadap perusahaan tambang, baik legal maupun ilegal. “Yang perlu dicatat, kasus ini juga melibatkan dokumen resmi dari perusahaan pemegang IUP sebagai salah satu syarat pengiriman,” kata Buyung.

Menurutnya, dokumen tersebut digunakan seolah-olah batu bara tersebut berasal dari penambangan resmi atau pemegang IUP. “Padahal sebenarnya berasal dari kegiatan illegal mining.”
PWYP juga menyoroti lemahnya peran satuan tugas penanganan tambang ilegal yang dibentuk Otorita IKN (OIKN). Meskipun sudah beroperasi hampir dua tahun, satgas tersebut dinilai belum efektif menghentikan operasi tambang ilegal skala besar. Buyung menilai satgas bentukan OIKN perlu dievaluasi agar menghasilkan outcome yang konkret dan mampu membangun koordinasi antarlembaga secara efektif.

Sumber: Tempo

 

 

 

Privacy Preference Center

Skip to content