04 March 2015, Editor Cundoko

MigasReview, Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) mendorong Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) mengajukan draf revisi UU Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) No.22/2001 versi masyarakat sipil ke pemerintah untuk dapat disahkan di parlemen.

Koordinator Nasional PWYP Indonesia Maryati Abdullah menilai, UU 22/2001 telah melahirkan lembaga baru bernama BP Migas yang berstatus BHMN, sehingga tidak dapat melakukan kegiatan bisnis. Ketiga, UU 22/2001 menyebabkan salah kelola sumber daya alam Indonesia yang menyebabkan kegagalan dalam menjadikan industri migas sebagai penyangga ketahanan energi nasional.

Menurut Maryati di kantor TRTKM, Jakarta, kemarin Selasa (3/3), salah kelola migas ini ditandai dengan tiadanya roadmappengelolaan dan pemanfaatan migas, adanya mafia migas, dan inefisiensi biaya operasional (cost recovery).

“Keempat, UU 22/2001 menciptakan suatu kebijakan energi nasional yang cenderung sektoral dan hanya berorientasi pada aspek pendapatan, bukan pada ketahanan nasional di bidang energi. Kelima, UU 22/2001 melupakan kegiatan hilir dan cenderung pada kegiatan hulu migas,” ungkap Maryati.

Untuk itu, Maryati mengusulkan materi pengaturan revisi UU Migas versi masyarakat sipil yang berisi pengaturan-pengaturan dalam menjawab permasalahan UU 22/2001.

Selain itu, pihaknya juga berupaya menyinergikannya dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, prinsip transparansi dan partisipasi yang memuat, di antaranya perencanaan pengelolaan migas.

“Perencanaan itu meliputi pertama, pendekatan secara komprehensif kegiatan hulu dan hilir. Kedua melakukan sinkronisasi berbagai rencana kebijakan pemerintah terkait dengan pemenuhan kebutuhan energi nasional. Ketiga, menyelaraskan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan migas dengan kebijakan di sektor lingkungan hidup, tata ruang, pertanahan,” jelas Maryati.

Selanjutnya, menurut Maryati, adanya model kelembagaan hulu migas tidak lagi sesuai putusan MK yang tertuang seperti, negara melakukan keseluruhan pengelolaan migas sehingga negara menguasai sumber daya migas sebagai kekayaan nasional. Selanjutnya,penyelenggara fungsi pengaturan dan pengurusan oleh Menteri ESDM yang dikelola oleh kegiatan usaha hulu migas, yang kemudian dilakukan oleh KKKS bersama BUMD, koperasi, dan badan hukum swasta atau bentuk usaha tetap.

Tetapi, kata Maryati, fungsi pengaturan harus lewat penyusunan regulasi dan peraturan perundang-undangan serta pemberian izin. Yang juga harus dilakukan adalah menyangkut fungsi pengelolaan yang harus dilakukan oleh BUMN. Terakhir, adanya fungsi pengawasan untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan hulu dan hilir migas.

“Jadi badan pengawas itu mesti beranggotakan lima orang yang mewakili unsur pemerintah, BUMN pengelola/badan usaha, masyarakat sipil, akademisi dan dunia usaha,” jelas Maryati.

Kemudian, lanjut Maryati, adanya petroleum fund, dana dari penerimaan migas yang disisihkan dan dikelola secara akuntabel untuk kemandirian dan ketahanan energi.

“Jadi petroleum fund bertujuan untuk pengalihan energi fosil ke energi bersih dan terbarukan; untuk pembangunan infrastruktur migas seperti kilang (refinery), jaringan distribusi gas bumi, terminal gas alam cair dan lainnya; serta kegiatan yang berkaitan dengan pencarian cadangan migas baru,” tutur Maryati.

Lebih lanjut Maryati mengungkapkan, adanya ketentuandomestic market obligation (DMO) yang harus diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan migas dalam negeri, dan besaran DMO itu ditetapkan oleh pemerintah lima tahun sekali dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

Selanjutnya, kata Maryati, adanya model kelembagaan hulu migas yang baru dan cost recovery yang dilakukan oleh BUMN pengelola. Ketertutupan dalam penentuan dan perincian cost recovery selama ini ditengarai memberi peluang terjadinya praktik-praktik kolusi dan korupsi sebagaimana terafirmasi dalam temuan pemeriksaan BPK pada 2013. Saat itu ditemukan biaya penyimpangan pembayaran cost recoverysebesar US$ 221,5 juta (Rp2,25 triliun) pada periode 2010-2012.

“Penerapan transparansi merupakan kunci untuk meningkatkan akuntabilitas perhitungan cost recovery yang dibayarkan kepada KKKS,” sebut Maryati.

Dalam revisi UU Migas, menurut Maryati, perlu adanyaparticipating interest (PI). Akan tetapi masalah yang kerap terjadi pada PI adalah daerah tidak mampu mengambil keseluruhan hak PI, kecuali mereka menggandeng swasta. Hal ini membuat tujuan PI yaitu untuk melibatkan serta memberikan manfaat kepada pemerintah daerah, perusahaan daerah dan warga lokal menjadi tidak tercapai.

Revisi UU Migas ini mendorong agar BUMD dapat meminjam kepada lembaga pembiayaan seperti Pusat Investasi Pemerintah (PII) atau menerbitkan obligasi untuk menghimpun dana dari masyarakat. “Selain itu, BUMD yang dapat mengambli PI adalah BUMD dengan kepemilikan modal 100% dikuasai pemda,” cetus Maryati.

Revisi UU Migas juga perlu memberikan perlindungan atas dampak kegiatan migas yang ditujukan pada aspek kesehatan dan keselamatan kerja, lingkungan hidup, dan pengadaan tanah.

Selanjutnya revisi U Migas harus memiliki sistem informasi dan partisipasi untuk menjamin bagi keterbukaan informasi dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan migas di Indonesia.

“Aspek keterbukaan informasi dan partisipasi sudah menjadi elemen penting dalam mewujudkan penyelenggaraan negara sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik. Oleh karena itu, revisi UU Migas ini mendorong penguatan aspek keterbukaan informasi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan perlindungan migas,” tandasnya.

Sementara itu, Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) Faisal Basri mengatakan, pihaknya akan menampung semua draf revisi UU Migas baik dari versi DPR, pemerintah, PT. Pertamina (Persero), maupun versi masyarakat sipil.

“Semua masukan draf revisi UU Migas akan kami tengahi untuk ditindak lanjuti,” pungkasnya. (aw)

Sumber : MigasReview