Jakarta – Bayangkan, jika terdapat dua peta jalur kereta dari sebuah kota. Salah satu peta kereta tersebut berliku, minim keterangan, dan sulit untuk dimengerti. Sementara salah satu jalur kereta lainnya memiliki garis lajur yang lebih tertata, keterangannya lebih lengkap.Mana yang lebih mudah dimengerti oleh pembaca? tentu hampir semua orang akan menjawab peta kedua, karena mudah dimengerti. Begitulah analogi yang dikemukan oleh Hasrul Hanif, pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada (UGM), pada sesi PWYP Knowledge Forum (PKF) bertajuk Mengenal Metodologi Scoping Studies, yang diselenggarakan secara daring pada 22 Desember 2023
PKF adalah forum diskusi dan berbagi pengetahuan yang diselenggarakan secara rutin oleh koalisi PWYP Indonesia, dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas, serta mengembangkan diskursus publik terkait isu, topik dan kebijakan di sektor sumber daya alam.
Hanif menyampaikan bahwa Metodologi Scoping Study merupakan metode penelitian yang digunakan untuk mengidentifikasi literatur secara mendalam dan menyeluruh yang dapat diperoleh dari berbagai sumber dengan berbagai metode penelitian serta memiliki keterkaitan dengan topik penelitian. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Arksey dan O’Malley pada tahun 2005.
Metodologi Scoping Studies digunakan untuk menjelaskan data yang kompleks agar disajikan dengan mudah. Artinya, pemetaan Metodologi Scoping Studies menggunakan pemetaan secara cepat, konsep, sumber maupun data. Metode ini memiliki cakupan, jangkauan dan sifat pada riset, juga mengidentifikasi celah pada riset. Selain itu, metode ini berguna untuk memetakan temuan, juga menggunakan fisibilitas dan relevansi kajian systematic literature review.
Metode ini cenderung luas dan mencakup desain penelitian yang variatif. Selain itu, tidak berpretensi untuk menilai kualitas (sumber riset atau non riset), bukan hanya mengidentifikasi celah tapi juga menghubungkan dengan konteks (kebijakan), dan sifatnya iteratif.
Hasrul Hanif juga mendeskripsikan alur dari metodologi scoping studies. Dimulai dari pertanyaan penelitian yang merupakan parameter penting, namun juga peneliti harus mengakui definisi atau cakupan tidak tunggal atau masih diperdebatkan. Dilanjutkan dengan mengidentifikasi sumber yang relevan, yang harus diputuskan batasan/cakupan dari sumber tersebut. Namun, penting juga untuk menyeleksi studi, baik yang masih diperdebatkan atau tidak tunggal. Setelahnya, memetakan atau mengklasifikasi data berdasarkan kesamaan isu, tema, pendekatan/perspektif atau konteks. Baru lah kita dapat merangkai dan menyusun laporan dan proses mengkoneksi (kesamaan atau perbedaan dan interaksi antar data) yang bersifat iteratif. Agar menambah jumlah sumber dan memperkaya pandangan dari penelitian, penting juga dilakukan konsultasi sebagai tahap pelengkap.
Metode Scoping Study adalah alat yang kuat dalam navigasi literatur yang kompleks, memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang lanskap penelitian. Analogi peta kereta yang digunakan oleh Hanif menjadi gambaran yang tepat; keteraturan dan kejelasan peta yang kedua jelas lebih menguntungkan. Begitu pula dengan Metode Scoping Study, dengan pendekatan yang lebih terstruktur dan jelas, menghasilkan pemetaan yang lebih mudah dipahami dalam dunia penelitian. Dalam kerangka Transisi Energi, penerapan metodologi ini menjadi landasan yang kuat untuk memperluas wawasan, memetakan temuan, dan merangkai jalinan informasi yang mendasar bagi pembahasan isu-isu krusial di sektor sumber daya alam.
Penulis: Ersya Shafira Nailuvar
Reviewer: Aryanto Nugroho & Wicitra Diwasasri