Revisi Undang-undang migas yang sedang berlangsung salah satunya menyoroti soal aspek kelembagaan. Perdebatan tersebut mengerucut pada usulan perlunya BUMN Khusus pengelola migas. Untuk memperdalam pengetahuan tersebut, Patrick Heller, Director of Legal and Economic Program Natural Resource Governance Institute (NRGI), berkesempatan membagi pengetahuannya tentang aspek kelembagaan dan struktur kontrak migas di beberapa negara dalam PWYP Knowledge Forum (PKF) yang berlangsung (22/10) lalu.
Menurut Heller, perbaikan tata kelola sektor migas dapat difokuskan pada aspek kelembagaan dengan menekankan tiga hal. Pertama, mengukur efektivitas struktur kelembagaan di Indonesia, dengan mengetahui apa peranan masing-masing lembaga. Misalnya, bagaimana peran Pertamina, SKK Migas, Kementrian ESDM, dan lembaga lainnya.
“Kedua, adanya pihak yang bertanggung jawab dalam mengawasi perusahaan-perusahaan migas agar patuh pada regulasi yang ada. Ketiga, adanya mekanisme akuntabilitas publik, sehingga perusahaan tersebut terbuka kepada publik,” tuturnya.
Heller juga menjelaskan efektifitas struktur kelembagaan migas di Norwegia dan Malaysia. Di Norwegia, lanjut dia, pengambil kebijakan migas adalah Stortinget, kemudian kegiatan komersil dijalankan oleh Statoil. Fungsi pengembangan nasional dijalankan oleh kementrian keuangan, dan Norwegia Petroleum Directorate yang menjalankan fungsi monitoring dan regulasi.
Berbeda dengan Norwegia, di Malaysia, keempat fungsi tersebut dijalankan oleh satu lembaga yaitu Petronas. Namun, mendorong State Owned Enterprise (BUMN) tidak terlepas dari lemahnya aspek manajemen dan pengawasan. Jika manajemen dan pengawasan lemah, maka proyek pengembangan dan penerimaan Negara menjadi tidak efektif, manajemen penerimaan public (public revenue) yang tidak akuntabel, dan relasi yang rendah dengan masyarakat.
Heller juga menjelaskan mengenai skema kontrak di beberapa Negara. Di UK, US, Colombia, Brazil, negara-negara ini menggunakan sistem kontrak konsesi, yaitu perusahaan sebagai pemilik 100% hasil produksi. Kemudian Indonesia, Azerbaijan, Angola, yang menganut system production sharing contract, dimana hasil produksi dibagi hasilkan antara pemerintah dan perusahaan dengan persentase sesuai kontrak.
“Iran, Iraq, Meksiko, Bolivia, yang menganut sistem service contract dimana kepemilikan oleh pemerintah dan perusahaan dibayar atas kegiatan yang dilakukan,” jelas Heller.
Meliana Lumbantoruan, Research and Knowledge Manager PWYP Indonesia, berharap diskusi ini bisa memberi masukan dalam membangun aspek kelembagaan migas yang lebih baik, dan UU migas yang baru bisa mengatur aspek kelembagaan yang transparan dan akuntabel.