Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia kembali menyelenggarakan PWYP Knowledge Forum (PKF) bertajuk “Keadilan dalam Transisi Energi di Indonesia” secara daring pada 24 Februari 2023. PKF adalah forum diskusi dan berbagi pengetahuan yang diselenggarakan secara rutin oleh koalisi PWYP Indonesia, dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas, serta mengembangkan diskursus publik terkait isu, topik dan kebijakan di sektor sumber daya alam.
Hadir sebagai Narasumber dalam PKF ini adalah Fikri Muhammad, Senior Analyst Economics and Governance dari Climateworks Center dan Azhania N. Siswadi, peneliti dari PWYP Indonesia sebagai moderator. Adapun latar belakang dari topik ini berkaitan dengan isu transisi energi yang mendorong perkembangan energi terbarukan. Tujuan besar transisi energi tidak akan terlepas dari dampak sosial dan ekonomi yang akan timbul kedepannya. Dampak sosial dan mitigasi risiko lingkungan juga menjadi bagian yang penting dalam transisi energi. Transisi energi akan berdampak besar pada dinamika tenaga kerja, perlindungan sosial, dan diversifikasi ekonomi.
Sebagai pembukaan dalam pemaparannya, Fikri menyajikan gagasan pentingnya keadilan dalam transisi energi dikarenakan tantangan yang kompleks dari dinamikanya dalam konteks ekonomi, sosial, dan politik di Indonesia. Misalnya, produksi batubara di Kalimantan Timur berkontribusi pada ekonomi mereka sebesar 35%, atau di Muara Enim, Sumatera Selatan, sektor pertambangan berkontribusi lebih dari setengah persen ekonomi mereka. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat terdampak untuk mendapatkan kompensasi yang memenuhi kebutuhan mereka ketika dilakukan transisi energi.
Dari beberapa definisi yang telah disediakan, konsep transisi energi berkeadilan menciptakan tiga prinsip keadilan energi yang harus dimasukkan dalam pembuatan kebijakan, antara lain; Keadilan untuk Siapa (identifikasi siapa stakeholdernya), Bagaimana (prosedur harus bersifat adil), dan Apa (distribusi rewards/resources yang berbasis keadilan).
Fikri juga membahas chain of the rule atau rantai aturan dari transisi energi dalam pembuatan kebijakan. Ia memulai dari pertanyaan bagaimana konsep keadilan dapat terinstitusionalisasikan dalam kebijakan dan regulasi dalam sektor energi. Fikri menjelaskan bahwa transisi energi sudah banyak didorong di berbagai negara di dunia. Skema regulasi yang dijadikan acuan risetnya berawal dari Afrika Selatan yang kemudian diadopsi oleh Indonesia.
Berlanjut ke perkembangan komitmen Indonesia pada transisi energi, Fikri menyatakan untuk ukuran negara berkembang, Indonesia bergerak cepat dalam berpartisipasi mengembangkan energi terbarukan. Diambil dari proyeksi pemerintah dalam pengembangan transisi energi, tahun 2060 merupakan target net-zero Indonesia. Meski demikian, pemerintah tidak sepenuhnya menghilangkan PLTU dan diproyeksikan akan masih adanya ketergantungan pada PLTU dikarenakan pembiayaan PLTU yang sudah terlanjur berjalan di tengah-tengah investasi pada energi terbarukan.
Pentingnya energi berkeadilan juga harus didasari oleh landasan hukum yang berada di dalam undang-undang dalam pengimplementasiannya. Misal, listrik yang diperoleh dari masyarakat berbasis energi terbarukan harus dapat dibeli dengan harga yang terjangkau dan memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat dapat dilihat dari UUD 1945, hukum listrik, dan hukum energi Indonesia. Selain itu penting juga untuk memperhatikan undang-undang lingkungan hidup sebagai poin penting dalam mewujudkan keadilan dalam transisi energi. Misalnya, menyinggung masalah polusi, maka emiter harus bertanggung jawab dalam menanggulangi isu tersebut. Sebagai gantinya. masyarakat pun berhak untuk menggugat bila merasa dirugikan.
Namun permasalahan unik yang muncul pada isu keadilan energi terbarukan ada pada transisi energinya. Dalam prakteknya, perusahaan ekstraktif tidak memberikan kompensasi pada masyarakat yang terdampak dengan transisi energi, baik itu dalam bentuk materi, maupun dalam bentuk kompensasi edukasi skill yang bersinggungan dengan topik tersebut. Untuk itu, diperlukan regulasi dan kebijakan yang memastikan bahwa dampak transisi energi benar-benar termitigasi. Konsep keadilan ini sebenarnya hal yang sudah ada dari dulu, namun belum benar-benar spesifik merambat pada energi terbarukan dan transisi energi. Konsep tersebut sudah termuat dokumen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC) dan strategi jangka panjang rendah karbon dan ketahanan iklim (LTC-LCCR).
Dalam menjalankan NDC dan LTC-LCCR, pemerintah melakukan beberapa upaya antara lain; Mempromosikan kegiatan ekonomi alternatif yang lebih sustainable atau green job lewat green investment, peningkatan kapasitas pada masyarakat untuk pekerjaan, juga adanya planning merealisasikan kebijakan kebijakan keadilan energi terbarukan untuk ditetapkan secara nasional. Sayangnya, aspek NDC dan LTC-LCCR ini masih bersifat komitmen dan belum mengikat secara hukum.
Fikri juga menyajikan sebuah contoh studi kasus yang merefleksikan transisi energi berkeadilan dan mengimplementasikan NDC dan LTC-LCCR di Sawahlunto. Daerah tersebut yang perekonomiannya bersumber dari tambang batu bara bergeser menjadi turisme dikarenakan menurunnya produksi mereka dan krisis moneter di tahun 1998. Butuh dua abad bagi pemerintah Sawahlunto untuk bergeser bidang utama mereka menjadi sektor baru. Berkaca dari kasus ini, maka pemerintah pusat harus mengantisipasi dinamika keadilan dalam transisi energi.
Penulis : Ersya S. Nailuvar