Kabupaten Bojonegoro merupakan salah satu kabupaten dengan produksi migas tertinggi di Indonesia, yang berkontribusi terhadap 25%-30% produksi migas nasional. Bojonegoro diperkirakan memiliki cadangan minyak sekitar 600 juta-1,4 milyar barel dan cadangan gas sekitar 1,7-2 Trillion Cubic Feet (TCF). Sebagai daerah penghasil migas, Bojonegoro menghadapi tantangan pembangunan yakni risiko ketergantungan terhadap penerimaan dari sektor migas, baik dari Dana Bagi Hasil (DBH) Migas yang ditransfer pusat sebagai dana perimbangan, maupun sektor-sektor lain yang tergantung pada industri migas. Sementara, pendapatan migas bersifat volatil–karena dipengaruhi oleh volatilitas harga dan produksi. Padahal pendapatan migas sangat diandalkan untuk mendanai belanja publik seperti layanan pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan program-program pengentasan kemiskinan, selain digunakan untuk menambah belanja rutin pegawai.

Untuk mendiskusikan hal tersebut, PWYP Indonesia–koalisi 35 organisasi masyarakat sipil yang fokus mendorong perbaikan tata kelola dan pemanfaatan sumber daya ekstraktif di sektor migas, pertambangan dan Sumber Daya Alam, menyelenggarakan Diskusi Publik (14/2) lalu. Diskusi ini menghadirkan Kepala Bappeda, SKK Migas Jabanusa, Koordinator PWYP Indonesia, Peneliti PolGov UGM, Peneliti NRGI, dan Direktur FITRA Jawa Timur sebagai narasumber.

Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Maryati Abdullah, membuka diskusi publik yang berlangsung di Hotel Aston Bojonegoro. Maryati menekankan pentingnya daerah-daerah kaya migas memiliki strategi yang holistik dalam pengelolaan pendapatan, dalam hal ini dapat mengantisipasi risiko volatilitas migas, tidak terjebak pada optimalisasi industri migas semata, mengembangkan diversifikasi, dan mampu menyusun perencanaan pembangunan dengan indikator yang baik dan berkelanjutan.

“Diskusi ini kami selenggarakan sebagaimana komitmen kami untuk mendorong efektivitas pengelolaan pendapatan migas untuk kesejahteraan masyarakat, dan pembangunan tidak terjebak pada sumber daya yang tidak terbarukan, upaya ini juga kami dorong di berbagai wilayah kaya SDA lainnya seperti di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua,” tuturnya.

Diskusi yang dimoderatori oleh Meliana Lumbantoruan, Program Manager Seknas PWYP Indonesia ini mendiskusikan berbagai topik baik dari sisi proses dan target penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN), kinerja produksi dan aspek pengelolaan blok migas, volatilitas minyak dan perencanaan pembangunan daerah yang efektif, politik desentralisasi bagi daerah penghasil minyak, skema pengelolaan dana migas untuk penanggulangan kemiskinan daerah, serta best practice pengelolaan dana migas melalui petroleum fund/sovereign wealth fund–contoh dari berbagai praktik negara-negara di tingkat global.

Dalam diskusi publik yang terselenggara atas kerja sama dengan Fitra Jatim dan atas dukungan The Ford Foundation ini mengemuka beberapa poin penting dalam pengelolaan pendapatan migas Bojonegoro. I Nyoman Sudana, Kepala Bappeda Kabupaten Bojonegoro menyampaikan kontribusi sektor migas terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bojonegoro sangat penting, di mana DBH Migas tahun 2018 saja realisasinya mencapai 2,2 Triliun Rupiah, sedangkan sisa lebih anggaran (silpa) dari keseluruhan APBD mencapai 2,1 Triliun Rupiah. Hal ini karena perhitungan realisasi DBH Migas baru direkonsiliasi di Triwulan-IV yang mana kenaikan DBH juga dikontribusi oleh kenaikan harga minyak di triwulan IV.

I Nyoman menambahkan, “Hampir 50% pertumbuhan ekonomi lokal didorong oleh sektor Migas, namun sayangnya pertumbuhan ekonomi migas belum optimal dinikmati oleh masyarakat Bojonegoro. “Pasalnya, sektor ini hanya menyerap 4,6% tenaga kerja lokal di tahun 2018. Jumlah yang sangat kecil, jika dibandingkan dengan sektor pertanian yang menyerap tenaga kerja sampai 36%,” ujar I Nyoman Sudana.

Sedangkan dari aspek pengelolaan pendapatan dalam arah dan strategi perencanaan daerah–khususnya jangka menengah (RPJMD), I Nyoman mengatakan bahwa saat ini RPJMD sedang dimatangkan, yang mana RPJMD menitikberatkan visi untuk menjadikan Bojonegoro sebagai sumber ekonomi kerakyatan, dan sosial budaya lokal untuk terwujudnya masyarakat yang beriman, sejahtera, dan berdaya saing; yang mana visi tersebut diturunkan dalam 7 visi pembangunan: (1) Mewujudkan tata kehidupan sosial yang berlandaskan nilai-nilai religius dan kearifan lokal; (2) Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan dan bertanggung jawab, (3) Mewujudkan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang berkelanjutan; (4) Mewujudkan rasa aman dan keberpihakan bagi perempuan, anak, penyandang disabilitas, serta kaum dhuafa; (5) Mewujudkan peningkatan kesejahteraan berbasis ekonomi kerakyatan dan ekonomi kreatif; (6) Mewujudkan daya saing ekonomi daerah berbasis potensi lokal; serta (7) Mewujudkan pembangunan infrastruktur yang merata dan ramah lingkungan.

Visi misi tersebut juga dijabarkan dalam arah kebijakan tematik tahunan yang dirumuskan dalam RPJMD tahun 2019 hingga tahun 2023. I Nyoman juga mengemukakan akan sulitnya pemerintah daerah untuk memprediksi pendapatan daerah, antara proyeksi dan realisasi seringkali meleset, “akibatnya di akhir tahun terjadi Silpa seperti sekarang ini,” ujarnya. I Nyoman mengatakan, tidak semua informasi yang kami butuhkan diberikan oleh Pusat, seperti misalnya cost recovery–sehingga kami kesulitan untuk menghitung dan memperkirakan akan berapa realisasi pendapatan kami dari produksi yang ada” imbuhnya.

Dony Aryhanto, senior public relation manager SKK Migas Jabanusa yang turut hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut, menekankan pentingnya Blok Cepu sebagai salah satu andalan produksi nasional, termasuk pengembangan gas di Blok Jambaran Tiung Biru yang dioperatori oleh Pertamina EP–merupakan salah satu target strategis pengembangan di tahun 2019 ini.

Dony mendorong agar daerah mengoptimalkan pendapatan migas melalui Dana Bagi Hasil (DBH) yang ditransfer oleh Kementerian Keuangan ke sektor-sektor yang produktif. Pendapatan tersebut harus dikelola dengan baik, jangan membuat kita bermalas-malasan karena merasa punya kekayaan alam, dan jangan ada korupsi.

Dony menekankan bahwa SKK Migas sangat menjaga integritas bisnis dengan ditegakkannya prinsip-prinsip anti-korupsi, “bahkan kami telah memiliki akreditasi standar ISO,” ungkapnya. Selain pendapatan langsung, fasilitas-fasilitas industri migas ini merupakan aset negara yang harus dijaga dan dikelola dengan baik. Dony juga menekankan mengenai kewajiban perusahaan untuk mengalokasikan dana PPM (Program Pengembangan Masyarakat)- yang itu berbeda dengan program CSR (corporate social responsibilty). Jika CSR dialokasikan 2,5% dari profit, PPM anggarannya disetujui oleh SKK Migas yang menjadi bagian dari dana operasi.

PPM dimulai sejak masa eksplorasi, tidak diberikan berupa uang tunai, tidak dapat dibagi-bagi melainkan dijalankan melalui program, serta hanya diperuntukkan bagi daerah terdampak di sekitar wilayah industri migas. Di akhir presentasinya, Dony menekankan untuk kita selalu bekerja keras dan bersyukur dan jangan melupakan pepatah ‘Don’t ask what your country can do for you–but ask, what can you do for country?–jangan tanyakan apa yang diberikan negeri kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang dapat kamu perbuat untuk negeri ini’ tutupnya.

Maryati Abdullah menyampaikan tingginya penerimaan daerah dari sektor migas menciptakan ketergantungan yang tinggi terhadap sektor migas. Karenanya, diperlukan kapasitas yang kuat dan perencanaan pembangunan dan anggaran daerah yang matang serta berkelanjutan-agar dana migas efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, diperlukan upaya mitigasi dari risiko volatilitas pendapatan migas–misalnya melalui pengembangan fiskal model yang memperhitungkan berbagai risiko fiskal termasuk variabel fluktuasi harga, produksi biaya capex, opex, dan sebagainya. Pengembangan fiskal model ini, selain dapat memproyeksi pendapatan dan saat-saat puncaknya, model ini juga dapat mengantisipasi peluang menurunnya pendapatan akibat berbagai faktor.

Sebagaimana hasil fiskal model yang dikembangkan oleh PWYP Indonesia di area pertambangan tembaga ‘Batu Hijau’ yang dikelola Newmont (sekarang dikelola Amman Mineral) beberapa waktu lalu. “Melalui pengembangan fiskal model, risiko-risiko volatilitas dapat diantisipasi dan dikelola dengan baik,” imbuhnya.

Agar volatilitas migas tersebut dapat diperhitungkan dan dikelola dengan baik, Maryati menekankan pentingnya proses perencanaan dan penganggaran pembangunan yang baik, dengan kriteria di antaranya: perencanaan harus berjalan secara partisipatif, terbuka, dan akuntabel; memiliki indikator yang bisa dicapai dan terukur; menjawab persoalan dan sesuai dengan konteks daerah; berkesinambungan dengan pemimpin sebelumnya; memiliki basis data; dilaksanakan sesuai dengan kewenangannya; memaksimalkan potensi yang dimiliki–melakukan diversifikasi/tidak terjebak dengan satu sektor saja; serta adanya keselarasan dan ketepatan kerangka kerja antara tujuan-outcome-output– dan kegiatan,” jelas Maryati.

Tantangan dalam perencanaan pembangunan adalah ketersediaan data, menentukan indikator capaian yang tepat, serta kepentingan politik yang biasanya menyebabkan adanya tarikan dan ketegangan (constraint). Maryati berharap, agar Bojonegoro dapat melakukan konsolidasi demokrasi dengan baik dan dapat secara efektif mengelola pendapatan migas untuk sebesar-besarnya kepentingan dan kesejahteraan masyarakat Bojonegoro. Terlebih, dalam situasi saat ini di mana Blok Cepu merupakan penyumbang rata-rata lifting harian terbesar di Indonesia dengan produksi 220 ribu barrel oil per day (bopd).

Indah Surya Wardhani, peneliti POLGOV UGM menyampaikan bahwa migas merupakan sumber daya strategis yang membutuhkan teknologi tinggi dengan skill khusus dalam pengelolaannya. Sehingga seringkali terjadi asymmetric information antara pemerintah pusat, pemerintah daerah sebagai daerah penghasil, dan masyarakat. “Pengelolaan SDA sering kali masih bersifat sentralistik,” ujar Indah. Upaya redistribusi penerimaan dari Sumber Daya Alam sudah dilakukan melalui mekanisme otonomi daerah, dan negosiasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang akhirnya menghasilkan beberapa kebijakan seperti earn marking, transfer tunai, dan konten lokal.

Indah juga menyoroti sejumlah inisiatif kebijakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bojonegoro, di antaranya yaitu Perda nomor 11 tahun 2011 tentang Penyertaan Modal di Kabupaten Bojonegoro; Perda nomor 23 tahun 2011 tentang Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Daerah dalam Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi serta Pengolahan Minyak dan Gas Bumi di Kabupaten Bojonegoro; Perda nomor 6 tahun 2012 tentang Transparansi tata Kelola Pendapatan, Lingkungan, dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan pada Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi; dan Perda nomor 5 tahun 2015 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan; dan Rancangan Perda Dana Abadi.

“Inovasi kebijakan yang sudah dilakukan oleh Pemda Bojonegoro ini perlu diapresiasi, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,” jelas Indah. Hal ini menurut Indah, misalnya pada tahap implementasi kebijakan tersebut, kemungkinan tidak sesuai dengan aturan yang seharusnya. Misalnya, dari 4% tenaga kerja yang diserap di sektor tambang, perlu ditelusuri berapa banyak yang betul-betul penduduk asli Bojonegoro. Beberapa hasil kajian menunjukkan praktik pemalsuan KTP terjadi dalam kasus tersebut.

Di sisi lain, keterbukaan informasi dan partisipasi masyarakat juga perlu ditingkatkan. Menurut Indah, banyak masyarakat yang tinggal di Desa Ring 1, yang tidak tahu mengenai Raperda Dana Abadi. “Ini karena secara politik memang tidak banyak diinformasikan. Ditambah dengan desa-desa sekitar blok migas banyak yang mendapat dana langsung dari perusahaan, sehingga merasa tidak perlu tahu dengan kebijakan Raperda dana migas,” jelas Indah.

Dana Abadi Migas, Bentuk Tanggung Jawab Antar Generasi

Walaupun rancangan perda Dana Abadi migas mendapat penolakan dari pemerintah provinsi, namun sebetulnya Dana Abadi migas atau Sovereign Wealth Fund (SWF) akan sangat bermanfaat untuk melepaskan ketergantungan Bojonegoro dari penerimaan migas yang sangat volatile.

Penggunaan SWF sebagai kendaraan investasi telah dilakukan di berbagai negara, dengan berbagai tujuan investasi, misalnya untuk mendanai pembangunan saat penerimaan migas turun, mensterilisasi dari mata uang asing, pembelanjaan untuk sektor produktif (kesehatan dan pendidikan), atau untuk pembiayaan saat terjadi krisis ekonomi dan krisis sosial.

Menurut Rani Febrianti, peneliti Natural Resource Governance Institute (NRGI)–lembaga think tank internasional yang berbasis di New York, menambahkan Raperda Dana Abadi Migas Bojonegoro yang sempat diusulkan oleh eksekutif dan dibahas bersama DPRD beberapa waktu lalu, akan berasal dari DBH migas dan 100% participating interest, dengan jangka waktu 30 tahun ditambah 20 tahun perpanjangan. “Yang bisa diambil untuk memenuhi kekurangan fiskal dan pendanaan di sektor pendidikan dan kesehatan hanya bunganya saja,” jelas Rani.

Pengadaan Dana Abadi Migas, menurut Rani harus diikuti dengan sejumlah prasyarat. Beberapa prasyarat tersebut, pertama, harus jelas tujuannya untuk apa (misalnya untuk tabungan, stabilisasi fiskal, dsb). Kedua, harus ada regulasi yang mengatur tentang fiskal. Berapa dana yang harus ditempatkan, berapa dana yang bisa diambil, dan mekanisme sanksi jika aturan tidak dilakukan. Ketiga, ada kepengurusan yang jelas. Keempat, adanya transparansi dengan proses audit berkala, sekaligus adanya lembaga independen yang mengawasi. Kelima, masyarakat diinformasikan mengenai proses pembentukan dan pelaksanaan SWF tersebut.

Inovasi kebijakan seperti Dana Abadi Migas ini sebetulnya menjadi inovasi yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk mendanai pembangunan melalui diversifikasi ekonomi sehingga daerah tidak sangat bergantung terhadap migas, pembangunan menjadi lebih stabil, serta dapat menjadi tabungan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap generasi mendatang.

Efektivitas Pengelolaan Pendapatan Migas untuk Pengentasan Kemiskinan

Dahkelan, Koordinator FITRA Jawa Timur mempresentasikan temuan studi FITRA mengenai efektivitas pengelolaan pendapatan migas untuk penanggulangan kemiskinan di Bojonegoro. Dahkelan mengemukakan, DBH Migas yang rata-rata menyumbang sebesar 24% dari APBD Kabupaten Bojonegoro ini (2015-2017) telah berkontribusi dalam pembiayaan daerah dalam penanggulangan kemiskinan. Angka kemiskinan Bojonegoro telah turun dari tahun ke tahun, meski belum dapat memenuhi target yang ditetapkan oleh RPJMD.

Lebih lanjut, Dahkelan mengemukakan bahwa skema kebijakan ini sangat mempengaruhi efektivitas pengelolaan pendapatan migas di Bojonegoro, seperti adanya dana alokasi khusus pendidikan ke level desa, adanya penyertaan modal daerah, adanya DAK Vokasional, adanya alokasi dana desa khusus dari sektor migas, serta adanya skema seperti dana abadi migas–melalui penyertaan modal di Bank Jatim.

Efektivitas pengelolaan dana migas tersebut sangat tergantung pada bagaimana tata kelola penggunaan anggarannya (misalnya inovasi transparansi-partisipasi dan akuntabilitas, maupun kebijakan pembangunan baik dari sisi investasi, pengembangan SDM, maupun pembangunan ekonomi dan infrastrukturnya).

Lebih lanjut, FITRA Jatim merekomendasikan agar Kebijakan pengelolaan dana migas dimasukkan dalam dokumen kebijakan perencanaan daerah (RPJMD) secara jelas dan detail; adanya perencanaan anggaran pendapatan daerah yang bersumber dari DBH Migas untuk memperhitungkan tingkat volatilitas harga minyak; dan dalam rangka untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dengan memanfaatkan keunggulan sektor migas, dengan meningkatkan produktivitas tenaga kerja di bidang pertanian, kehutanan, perikanan, konstruksi dan perdagangan. “Hal tersebut untuk menghindari pembangunan yang terjebak di sektor migas,” imbuhnya.