Jakarta – Meliana Lumbantoruan, Deputi Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia hadir menjadi salah satu penanggap pada diskusi publik bertema “Aliran Keuangan Gelap Pada Sektor Perikanan dan Batu Bara di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Prakarsa pada 31 Januari 2023. Hadir sebagai narasumber lainnya pada diskusi ini diantaranya adalah Denny Vissaro, DDTC; Perwakilan dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI. Diikuti oleh organisasi masyarakat sipil, akademisi, asosiasi pengusaha sebagai peserta.

Diskusi publik ini dilatarbelakangi oleh komitmen bersama untuk memerangi aliran keuangan gelap (Illicit Financial Flows) yang juga telah menjadi komitmen global dan tercantum pada Sustainable Development Goals (SDG’s). Praktik keuangan gelap terjadi dalam berbagai modus seperti pencucian uang, penghindaran pajak, suap transnasional, hingga penggelapan pajak. iskusi ini sekaligus mendiseminasikan hasil riset yang dilakukan oleh Prakarsa yang dilakukan pada tahun 2022. Penelitian ini berfokus pada aliran keuangan gelap pada sektor perikanan dan batu bara. Pada penelitian lainnya, Prakarsa menunjukkan potensi besar hilangnya penerimaan negara berasal dari batu bara senilai 5,32 miliar USD, juga potensi kehilangan penerimaan pajak yang meningkat dari 26,8 ribu USD pada 1989 menjadi 897,8 ribu USD pada 2017 (Prakarsa, 2019).

Hasil penelitian Prakarsa tahun 2022 ini, mengungkap adanya illicit sebesar 133,5 miliar USD di sektor batu bara sepanjangselama sepuluh tahun terakhir. terdapat nilai illicit sebesar 133,5 miliar USD. Sesuai tanggapan Meliana, Hal ini terjadi akibat adanya export under invoicing karena negara kehilangan pendapatan dari royalti dan PPH. Secara rinci, kehilangan pendapatan dari royalti sebesar 3,8 miliar USD, dan 1,16 miliar USD dari PPH (1,5%). Menyoroti hal serupa, under invoicing terjadi di Indonesia dan India, sementara over invoicing terjadi di Korea Selatan (Prakarsa, 2022).

Menanggapi temuan riset ini, Meliana menyebut potensi misinvoicing baik under invoicing atau over invoicing khususnya pada sektor industri ekstraktif sangat tinggi. Mengamati tren pada tahun 2021-2022,produksi dan ekspor batubara yang semakin meningkat, maka kemungkinan pula terjadi adanya potensi kesalahan pencatatan dalam prosesnya. Meliana juga menyampaikan pasokan batu bara domestik pada tahun tersebut belum optimal, dimana jumlah produksi dan ekspor meningkat secara tidak seimbang dengan pasokan batu bara domestik. Hal ini dapat menjadi faktor terjadinya aliran keuangan gelap pada proses tersebut.

Meliana menyampaikan upaya yang sebaiknya dilakukan untuk memerangi aliran keuangan gelap kedepannya. Melalui transparansi dan integrasi data produksi pada skala nasional. Hal ini sudah mulai dilakukan Pemerintah Indonesia melalui dukungan dari inisiatif Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), dan juga keterlibatan masyarakat sipil, termasuk PWYP Indonesia, untuk mengupayakan proses transparansi data ekspor dan impor berupa sistem data simpul yang mulai melakukan akurasi data mutakhir untuk pengawasan pada sektor pangan dan kesehatan.

“Untuk sektor perikanan, sebenarnya bisa masuk ke dalam sektor pangan, sehingga kedepannya, integrasi data produksi dan pencatatan sektor perikanan bisa masuk ke sistem data simpul yang sudah diinisiasi oleh pemerintah. Kemudian untuk sektor ekstraktif, dapat masuk ke kategori komoditas kritis atau lainnya.” ungkap Meliana.

Meliana menyampaikan potensi kehilangan penerimaan pajak kemungkinan terjadi karena inkonsistensi regulasi, celah regulasi yang dimanfaatkan, seperti yang tercantum pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dimana pemerintah menyatakan akan membatasi produksi batu bara, namun pada realisasinya produksi batu bara masih meningkat dikarenakan demand pasar global yang meninggi. Hal lainnya juga kerap terjadi pada ranah pemberian perizinan, sampai tahun 2022 yang masih banyak sekali perubahan yang meningkatkan potensi aliran keuangan gelap. PWYP Indonesia juga ikut andil dalam upaya transparansi data Beneficial Ownership, untuk mengurangi potensi korupsi hingga pencucian uang. Harapannya dengan terbukanya Data BO, dan konsistensi regulasi, dapat mengoptimalkan penerimaan negara dan menekan celah aliran keuangan gelap.

Penulis: Chitra Regina Apris
Reviewer: Aryanto Nugroho