Jakarta – Just Energy Transition Partnership (JETP) ialah kemitraan pendanaan transisi energi antara Indonesia dan negara maju yang tergabung dalam International Partnership Group (IPG). JETP disepakati di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada 15 November 2022, yang memuat komitmen pendanaan sebesar 20 milyar dolar AS atau lebih dari 300 triliun rupiah dalam bentuk pendanaan konsesi, hibah dan pembiayaan komersil sebanyak 10 milyar dolar AS dari IPG dan pembiayaan komersil sebesar minimal 10 milyar dolar AS dari perbankan internasional yang tergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ). Kemitraan Indonesia and IPG ditindaklanjuti dengan penyusunan Rencana Investasi dan Kebijakan JETP (Comprehensive Investment and Policy Plan-CIPP) sebagai landasan implementasi kemitraan yang dikoordinir oleh Sekretariat JETP Indonesia.
Pada 13 November 2023, Sekretariat JETP Indonesia selenggarakan Dialog Masyarakat Sipil “Konsultasi Draf Rencana Investasi dan Kebijakan JETP” untuk memberikan pemahaman penuh kepada masyarakat sipil terkait draft CIPP dan memfasilitasi upaya umpan balik sebagai bagian dari upaya Sekretariat JETP Indonesia menjaga transparansi dan akuntabilitas. Sebelumnya, Sekretariat JETP telah merampungkan draf CIPP dan telah mengunggah draf ke website resmi JETP yaitu jetp-id.org untuk kepentingan konsultasi publik yang berlangsung dari tanggal 1 hingga 14 November 2023. Selanjutnya, masukan publik dijadikan landasan finalisasi CIPP yang diluncurkan pada tanggal 21 November 2023.
Publish What You Pay (PWYP) Indonesia melalui Wicitra Diwasasri hadir secara luring sebagai penanggap dalam konsultasi publik tersebut, khsusunya terkait dengan aspek Implementasi dan Tata Kelola Transisi Energi. Hadir pula sebagai penanggap sejumlah perwakilan organisasi masyarakat sipil, diantaranya dari Transparency International Indonesia (TII), Jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STUEB), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), serta dimoderatori oleh Adithyani Putri, Spesialis Kebijakan dan Komunikasi, Sekretariat JETP Indonesia.
Wicitra beri masukan pada tiga dimensi utama yakni tata kelola, regulasi, dan kelembagaan. Ketiga aspek tersebut merupakan kerangka yang perlu menjadi perhatian JETP, disebabkan ketiganya saling terhubung dan menjadi aspek yang seringkali dijadikan acuan dalam, mulai dari perencanaan, pelaksanaan maupun monitoring dan evaluasi.
Pada aspek regulasi, Wicitra mengusulkan agar JETP Indonesia memiliki kekuatan hukum yang jelas serta tawaran alternatif kebijakan yang kuat. Hal itu dimaksudkan agar penyelenggaraan JETP di Indonesia tidak terhambat dikarenakan alasan kurangnya kekuatan hukum. Apalagi kultur birokrasi di Indonesia selama ini sering terjadi keengganan untuk bergerak ketika landasan hukumnya dianggap kurang kuat. Beberapa alternatif momentum pernyusunan regulasi dan kebijakan saat ini yang bisa dijadikan alternatif untuk memperkuat implementasi JETP Indonesia misalnya Rancanagan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET), RUU Keadilan Iklim, Revisi UU Ketenagalistrikan, Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Kebijakan Energi Nasional dll. Regulasi yang kuat juga dibutuhkan mengingat sumber pendanaan JETP yang sebagian besar sifatnya adalah hutang.
Wicitra meminjam Ansell & Gash (2007) sebagai pendekatan konseptual yang dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan JETP, yaitu collaborative governance. Dimana penyelenggaraan pemerintahan secara langsung melibatkan pemangku kepentingan non-state dalam proses pengambilan keputusan kolektif yang formal, berorientasi pada konsensus dan deliberatif. Pendekatan ini memiliki enam kriteria penting, yakni (1) forum diprakarsai oleh badan atau lembaga publik; (2) peserta forum mencakup aktor non-state; (3) peserta terlibat langsung dalam pengambilan keputusan dan tidak sekedar “dikonsultasikan” oleh badan publik/pihak berwenang; (4) forum ini diselenggarakan secara formal dan bertemu secara kolektif; (5) forum bertujuan untuk mengambil keputusan melalui konsensus (walaupun dalam praktiknya konsensus tidak tercapai), dan; (6) fokus kolaborasi adalah pada kebijakan publik atau manajemen publik. Pendekatan teoritis ini disampaikan untuk mencegah misinterpretasi atau penyederhanaan bentuk keterwakilan masyarakat atau publik dalam suatu penyelenggaraan tata kelola.
Wicitra juga menawarkan referensi model kelembagaan yang lebih partisipatif sebagaimana model Extractive Transparency Initiative Industry (EITI) yakni dengan membentuk Multi-Stakeholder Group (MSG) atau Kelompok Multipihak. Dimana model tersebut menempatkan representasi CSO bersama pemerintah dan pelaku usaha dalam kedudukan yang setara. Ketiga unsur tersebut dapat berperan langsung dalam pengambilan keputusan. Referensi yang dapat digunakan dengan pembelajaran dari pelaksanaan EITI Indonesia berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 26 Tahun 2010, yang diubah melaui Perpres Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, hingga diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Energi dan Sumber Daya Minera (ESDM)l Nomor 122.K/Hk.02/Mem.S/2021.
Aspek tata kelola lain yang menjadi perhatian Wicitra yakni terkait mekanisme penanganan pengaduan. Meskipun telah disebutkan dalam Draf CIPP bahwa pihak yang akan memverifikasi hal tersebut adalah Sekretariat JETP. Namun Wicitra mempertanyakan bentuk mekanisme yang dimaksud. Apakah ditujukan untuk mempercepat tindak lanjut dari pelaporan dengan menggunakan instrumen yang sudah disediakan oleh pemerintah seperti LAPOR! atau apakah ingin membuat kanal pengaduan sendiri? Sementara di aspek lainnya, belum diatur mitigasi dari risiko munculnya “solusi palsu” ataupun resiko pemburu rente dalam aspek akuntabilitas dan transparansi. Selain itu, Wicitra juga mengingatkan pentingnya memperkuat mekanisme pengawasan dan peran antar lembaga terkait termasuk tindak lanjut penanganannya ketika mendapatkan temuan.
Di akhir, Wicitra mempertanyakan bagaimana strategi komunikasi JETP kepada masyarakat terdampak sebagai aktor penting dalam program transisi energi. Terlebih dokumen yang dunduh dalam website belum tentu diketahui maupun dapat dipahami dengan mudah oleh komunitas terdampak. erlunya kanal informasi konsultasi publik yang bisa diakses dan di monitor publik/masyarakat secara reguler, serta menambahkan kelompok kerja GEDSI secara ad hoc dengan masa yang disesuaikan kebutuhan 3-5 tahun untuk memastikan just transition framework, kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan kelompok rentan akan konsisten diimplementasikan dalam pelaksanaan program JETP.
Penulis: Wicitra Diwasasri
Reviewer: Aryanto Nugroho