Indonesia Corruption Watch (ICW) baru-baru ini mengevaluasi Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Terorisme (Perpres BO). Evaluasi tersebut menyoroti pentingnya mengenali siapa pemilik manfaat atau beneficial ownership dari sebuah korporasi, yang dapat mencegah terjadinya berbagai kejahatan kerah putih, termasuk tindak pidana korupsi.
Beneficial ownership (BO) adalah individu yang sebenarnya memiliki atau mengontrol sebuah perusahaan. Namun, seringkali keberadaannya disamarkan atau bahkan ditutupi melalui struktur perusahaan yang tidak transparan dan kompleks. Sehingga, kajian ICW menyoroti bahwa masih terdapat ruang untuk memperbaiki substansi pengaturan dalam Perpres yang mengatur pengungkapan BO.
Industri ekstraktif menjadi salah satu sektor yang rentan akan praktik korupsi, konflik kepentingan, dan kerusakan lingkungan. Sulitnya mengidentifikasi pemilik manfaat perusahaan mengakibatkan industri ekstraktif rawan menjadi lahan terjadinya berbagai penyimpangan. Untuk itu sangat penting meningkatkan transparansi BO di Indonesia, meskipun menurut laporan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI, baru sekitar 29,87% korporasi yang telah melaporkan BO per Oktober 2022. Temuan ICW mengarahkan pada kesimpulan bahwa persoalan ini dapat diatribusikan pada Perpres BO sebagai instrumen hukum.
Kegiatan yang dilaksanakan pada 03 Februari 2023 di salah satu bilangan Jakarta ini mengundang narasumber Yassar Aulia (Staf Divisi Korupsi Politik ICW) sebagai pemapar kajian; Tongam Renikson Silaban, S.H., M.H. (Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham RI); Wicaksana Dramanda, S.H., M.H (Dosen Hukum Tata Negara Universitas Islam Bandung); dan Mouna Wasef (Kepala Divisi Riset dan Advokasi Publish What You Pay Indonesia) sebagai penanggap kajian. Kegiatan ini bertujuan untuk mendiseminasikan kepada masyarakat, sekaligus pemangku kepentingan, mengenai catatan kritis ICW terkait dengan regulasi BO di Indonesia. Kegiatan ini juga bertujuan untuk mendapatkan respons dari pemangku kepentingan terkait catatan kritis yang ICW keluarkan.
Mouna Wasef sebagai penanggap dalam diskusi ini menyampaikan beberapa catatan. Ia menyebutkan bahwa sudah ada kemajuan dalam penyampaian data BO yang terlihat dari adanya website pemilik manfaat yang dapat diakses oleh publik per Juli 2022. Meskipun masih terdapat disclaimer dari Dirjen AHU bahwa BO yang dilaporkan oleh korporasi tersebut belum diverifikasi dan baru 32,30% Perseroan Terbatas (PT) yang melaporkan data BO. Masih rendahnya PT yang melapor disebabkan beberapa hal, diantaranya banyak perusahaan yang berstatus dormant, belum paham cara mengidentifikasi BO, ataupun memang tidak ada itikad baik untuk melaporkan BO.
Belum dilakukannya verifikasi oleh Dirjen AHU ini pun menimbulkan pertanyaan publik apakah korporasi sudah melaporkan pemilik manfaat sesungguhnya (ultimate beneficial owner) atau hanya melaporkan legal owner/pemilik saham perusahaan/nominee yang belum tentu memiliki kontrol sepenuhnya atas kebijakan yang diambil perusahaan. ICW dan beberapa organisasi masyarakat sipil (CSO) pernah melakukan kajian untuk mengecek siapa sesungguhnya pemilik manfaat perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor batu bara, namun pengecekan satu per satu ini membutuhkan waktu yang tidak singkat dan biaya yang tinggi mengingat untuk mendapatkan data lengkap akta perusahaan harus membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp500.000.
Dalam paparannya, Mouna Wasef juga memberikan beberapa usulan, diantaranya agar CSO membuat analisis untuk memperkuat metode verifikasi dan pengawasan atas data BO yang dilaporkan perusahaan. Di Permenkumham No. 21 Tahun 2019, verifikasi yang dilakukan condong pada penilaian mandiri dengan mengisi kuesioner dan menyampaikan surat pernyataan. Sementara pengawasan tergantung pada tingkat resiko perusahaan tersebut. Untuk sektor SDA, penting untuk mendorong adanya peraturan sebagai dasar bagi verifikator perizinan di bidang SDA untuk dapat menolak permohonan perizinan yang diajukan oleh pelaku usaha yang tidak memenuhi ketentuan peraturan terkait pelaporan BO. Hal ini penting sebagai bentuk pengawasan yang lebih ketat terhadap perusahaan di sektor industri ekstraktif.
Penulis: Raudatul Jannah
Reviewer: Mouna Wasef