Jakarta – Kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI sebagai lembaga perwakilan daerah dimaksudkan demi memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah, meningkatkan agregasi, akomodasi aspirasi, dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah, serta mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang. Pelaksanaan tugas DPD semakin ditingkatkan sejak diundangkannya Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2018 sebagaimana diubah terakhir melalui UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).

Atas dasar tugas dan wewenang DPD tersebut, Badan Legislasi Urusan Daerah (BLUD) DPD RI selenggarakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) BLUD DPR RI pada 14 September 2022 di Ruang Rapat Padjajaran Gedung B DPD RI Lantai 2, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta. RDPU
dengan pakar dan praktisi tata kelola pertambangan tersebut untuk menggali informasi tentang problematika perizinan di sektor pertambangan dan kehutanan serta perbaikan tata kelola pertambangan Indonesia dalam rangka pembangunan berkelanjutan dan implikasinya terhadap daerah.

Dalam sambutannya, pimpinan RDPU yang sekaligus Ketua BULD DPD RI Stefanus BAN Liow menyampaikan bahwa pihaknya saat ini sedang fokus pada pemantauan Perda dan Ranperda yang berkaitan tentang pertambangan, lingkungan hidup dan kehutanan. Menurutnya, kewenangan Pemda yang diambil alih oleh pusat saat ini mengakibatkan sistem perizinan berubah, baik dibidang pertambangan, lingkungan hidup maupun kehutanan. Dinamika kembali bergulir dengan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD), dan munculnya UU Cipta Kerja membuat implikasi kepada kewenangan daerah.

“Terkait permasalahan peralihan kewenangan perizinan ke pusat, daerah harus melakukan penyesuaian melalui Perda dan Ranperda terhadap peraturan perundang-undangan di atasnya. Selain itu BULD DPD RI juga menyoroti dampak negatif yang terjadi pada masyarakat daerah akibat eksploitasi tambang,” ungkap Stefanus BAN Liow.
Koordinator Nasional koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia yang hadir sebagai narasumber menyampaikan paparannya bertajuk “Problematika Perizinan di Sektor Pertambangan dan Kehutanan, serta Perbaikan Tata Kelola Pertambangan di Indonesia dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development), dan Implikasinya terhadap Kebijakan Daerah”.

Menurut Aryanto, dalam pengelolaan SDA di Indonesia terkait tata kelola pasti berbicara tentang partisipasi, akuntabilitas dan transparansi. Menurutnya, fenomena saat ini daerah yang mempunyai SDA tinggi mempunyai kecenderungan miskin dan tertinggal dan tidak sebanding dengan dengan SDA yang sudah dieksploitasi.

Lebih lanjut Aryanto menambahkan, beberapa hal yang harus dilakukan adalah sinkronisasi regulasi, membentuk unit pengawas di daerah, memperbaiki mekanisme keterbukaan informasi perizinan, integrasi kanal pengaduan dan mekanisme penanganan, mengembangkan mekanisme kolaboratif untuk akuntabilitas izin pertambangan.

“Mirisnya sebagian besar daerah yang kaya akan SDA tetapi kemiskinannya rata-rata tinggi, dan laju perekonomian di daerah tersebut rendah, ini yang harus diperbaiki dampak dari eksploitasi tersebut, agar dari dampak negatif menjadi transisi energi yang berdampak baik bagi daerah itu,” ungkap Aryanto.
Dalam kesempatan tersebut Aryanto menyerahkan kajian PWYP Indonesia bertajuk Studi Diagnosis Persoalan Tata Kelola Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara kepada DPD RI.

Selain Aryanto, hadir pula Ahmad Redi, Pakar Hukum Pertambangan dari Universitas Tarumanegara sebagai Narasumber yang menyampaikan paparannya bertajuk “Kebijakan Regulasi Nasional di Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara, Perizinan dan Pengawasan Kegiatan Usaha Pertambangan, Dampak Lingkungan Hidup di Daerah, serta Implikasinya terhadap Kewenangan Daerah di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara”.