Jakarta – Pasca diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat atas Korporasi (Beneficial Ownership) dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT), semua jenis korporasi wajib mendeklarasikan dan melaporkan beneficial ownership-nya melalui platform yang disediakan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Lebih lanjut, Indonesia juga telah menempatkan kepatuhan dan keterbukaan Beneficial Ownership (BO) sebagai salah satu aksi prioritas di bawah Strategi Nasional Pencegahan Korupsi melalui payung Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi. Tujuan rencana aksi tersebut adalah tersedianya data BO yang akurat dan terintegrasi yang dapat diakses oleh publik dan dapat digunakan untuk penanganan perkara, perizinan, dan pengadaan barang dan jasa.
Namun, berdasarkan perkembangan yang dilaporkan oleh Sekretariat Nasional Strategi Pencegahan Korupsi, hanya 665.088 korporasi (27,76% dari total korporasi) yang telah melaporkan beneficial ownership-nya. Ada banyak alasan mengapa tingkat kepatuhan korporasi sangat rendah. Pertama, banyak perusahaan yang tidak familiar dengan istilah “beneficial ownership” dan mengalami kesulitan dalam mendefinisikan Beneficial Owner(s) mereka. Selain perusahaan yang bermaksud baik tetapi kurang informasi ini, banyak perusahaan yang diduga sengaja didirikan untuk memfasilitasi kejahatan, dan mereka akan menghindari kepatuhan kewajiban mengungkapkan beneficial ownership selama hal itu dianggap menguntungkan.
Menyikapi rendahnya kepatuhan pengungkapan beneficial ownership oleh korporasi, United Nations Office on Drugs and Crimes (UNODC), United Nations Development Programme (UNDP), Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Transparency International Indonesia, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyelenggarakan Public-Private Dialogue bertajuk Transparansi Pemilik Manfaat Atas Korporasi (Beneficial Ownership) pada 13 Oktober 2022 di Mandarin Oriental Hotel, Jakarta Pusat untuk memfasilitasi komunikasi dan diskusi yang jujur antara pemerintah dan dunia usaha tentang pengungkapan dan pengelolaan Beneficial Ownership.
Kegiatan tersebut dihadiri lebih dari 190 peserta dari berbagai latar belakang, termasuk kalangan pelaku usaha dari industri penting di Indonesia (yaitu industri ekstraktif, perkebunan, pertanian, dan kesehatan), notaris, pengacara, perwakilan pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. Kegiatan ini berhasil memfasilitasi komunikasi dan diskusi yang jujur antara pemerintah dan dunia usaha terkait pengungkapan dan pengelolaan Beneficial Ownership serta mengidentifikasi tantangan dan hambatan yang dihadapi sektor swasta dalam mengungkapkan informasi Beneficial Ownership.
Pembicara pada acara tersebut membahas isu-isu seperti digitalisasi dan berbagi data sebagai alat untuk membantu pemerintah dalam menggunakan informasi Beneficial Ownership untuk mencegah korupsi dan pencucian uang; pengalaman dan tantangan dalam mengidentifikasi, mengungkapkan, dan mengelola informasi Beneficial Ownership; potensi manfaat bagi masyarakat dengan memiliki akses terhadap informasi Beneficial Ownership, terutama dalam memantau pengadaan barang/jasa pemerintah, perizinan industri, dan konflik kepentingan.
Perwakilan dari sektor swasta menyoroti perlunya persyaratan kepatuhan yang jelas untuk pengungkapan Beneficial Ownership yang berlaku untuk semua perusahaan dan pentingnya transparansi sistem setara bagi semua perusahaan. Hasil survei yang dilakukan selama lokakarya menunjukkan bahwa sektor swasta mengharapkan bantuan dan bimbingan yang lebih baik dari pemerintah untuk mematuhi peraturan pengungkapan Beneficial Ownership.