Di Indonesia, potret transparansi sektor ekstraktif —minyak dan gas bumi (migas) serta mineral dan batubara (minerba)— masih rendah. Masih banyak yang harus dibenahi dari aspek ini, dan menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintahan dalam mewujudkan tata kelola yang baik, yang menjamin transparansi dan akuntabilitas.
Hasil penilaian terhadap pelaksanaan Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI) Indonesia dapat menjadi tolak ukur sekaligus menjadi refleksi dalam melihat sejumlah persoalan transparansi di negeri ini.
Berdasarkan validasi pelaksanaan EITI Indonesia tersebut, yang diputuskan Board EITI Internasional dan rilis akhir tahun 2024 lalu, Indonesia hanya memperoleh nilai 67 dari 100. Dalam standar EITI, skor nilai tersebut termasuk dalam kategori cukup rendah. Hal ini tentu menjadi catatan buruk bagi upaya perbaikan tata kelola sektor ekstraktif, melalui keikutsertaan Indonesia dalam EITI sepanjang lebih dari satu dekade ke belakang. Validasi itu merupakan sebuah mekanisme untuk memastikan quality assurance bagi setiap negara yang menerapkan EITI sesuai ketentuan Standar EITI. Ada tiga komponen validasi, yaitu Transparansi, Keterlibatan Pemangku Kepentingan, Hasil dan Dampak.
Dari tiga komponen tersebut, skor Transparansi memberikan kontribusi paling besar terhadap rendahnya nilai Indonesia itu, karena paling rendah di antara tiga komponen tersebut. Yakni hanya 63,5 dari 100. Sementara skor komponen Keterlibatan Pemangku Kepentingan juga tak kalah buruk, yakni 64. Untuk komponen Hasil dan Dampak, memiliki skor 73.
Faktor Rendahnya Transparansi
Dari validasi itu, ada beberapa hal yang mengakibatkan aspek transparansi Indonesia rendah. Di antaranya, keterbukaan informasi dokumen kontrak dan perizinan yang tak dilakukan sepenuhnya. Meskipun pemerintah Indonesia meng-”klaim” telah membuka informasi terkait kontrak dan perizinan yang disampaikan dalam berbagai platform berbasis web, seperti Minerba One Data Indonesia (MoDI) dan ESDM Geoportal, namun masih sangat terbatas, karena tidak menyediakan informasi sepenuhnya tentang isi kontrak dan perizinan.
Padahal, keterbukaan dokumen kontrak dan perizinan ini semakin menjadi sebuah keharusan, dimana dapat membantu pemerintah mendapatkan kesepakatan yang lebih baik untuk sumber daya alam, mendorong perbaikan manajemen pemerintah dalam mengelola sumber daya alam, mengurangi praktik korupsi, meningkatkan kepercayaan publik kepada pemerintah, mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi melalui pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam serta meningkatkan partisipasi warga negara dalam pengelolaan sumber daya alam (PWYP Indonesia, 2020).
Selain itu, Sekretariat EITI Indonesia pernah menyusun Laporan Hasil Simulasi Uji Konsekuensi Informasi Kontrak/Izin Melalui Penilaian Dampak Risiko , yang menyimpulkan bahwa keterbukaan kontrak/izin merupakan kewajiban berdasarkan Undang-Undang (UU) Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan terkait dengan “kesucian” kontrak, tidak terdapat satupun di dalam kontrak di sektor migas yang menyebut klausul kontrak sebagai dokumen yang bersifat rahasia. Sayangnya, Pemerintah terkesan enggan menindaklanjuti saran dan rekomendasi dari laporan tersebut.
Dalam praksis, keterbukaan informasi mengenai dokumen kontrak maupun perizinan kini kian menjadi tantangan nyata bagi masyarakat dalam mengawal tata kelola sumber daya alam. Masyarakat harus berhadapan dengan prosedur dan proses hukum yang rumit untuk memperoleh dokumen berupa kontrak dan perizinan tersebut. Belum lagi, berhadapan dengan komitmen lembaga negara yang bersangkutan. Kasus gugatan sengketa informasi publik yang dialami JATAM Kaltim dan warga Dairi dapat menjadi bukti nyata hal ini.
Sebagaimana diketahui, di tahun 2022, JATAM Kaltim menggugat Menteri ESDM atas ketertutupan lima perusahaan pemegang Kontrak Karya Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dan beberapa dokumen lainnya. Kemudian sengketa informasi yang diajukan Serly Siahaan, warga Dairi, Sumatera Utara melawan Menteri ESDM terkait Kontrak Karya dan status operasi produksi terbaru pertambangan PT Dairi Prima Mineral (DPM). Dalam putusannya, Majelis Hakim Komisioner Informasi Pusat mengabulkan permohonan Jatam dan warga Dairi tersebut dalam dua sidang terpisah.
Majelis hakim juga memutuskan pembatalan SK Menteri ESDM Nomor 002 Tahun 2019 tentang Klasifikasi Informasi yang Dikecualikan Sub Sektor Mineral dan Batu Bara yang menyebutkan bahwa dokumen kontrak PKP2B dan Kontrak Karya (KK) beserta perubahannya sebagai data dan informasi yang dikecualikan atau rahasia negara. Dengan demikian, Kementerian ESDM seharusnya sudah membuka data-data yang telah dimohonkan sebelumnya oleh para penggugat ke publik.
Namun, kepatuhan Kementerian ESDM dengan menjalankan putusan itu, tak terlihat. Justru sebaliknya. KESDM malah melakukan banding terhadap putusan itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebuah langkah yang sungguh tidak berpihak pada keterbukaan informasi.
Kembali ke hasil validasi EITI. Oleh karenanya, hasil validasi EITI 2024 tersebut, Indonesia didorong untuk mengungkapkan semua kontrak dan lisensi, termasuk lampiran, amandemen, dan ketentuan tambahan, yang telah diberikan, ditandatangani, atau diamandemen sejak 1 Januari 2021.
Mengenai keterbukaan kontrak dan izin, sebetulnya juga telah menjadi dorongan atau rekomendasi dalam beberapa diskusi skala nasional sektor energi dan sumber daya alam (SDA). Hasil Konferensi Nasional Tata Kelola Energi dan SDA yang diselenggarakan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, dengan tema Arah dan Strategi Pengelolaan Energi dan SDA di Era Pemerintahan Baru; bersama peningkatan ruang sipil, keterbukaan informasi menjadi bagian penting dari prasyarat dalam mewujudkan tata kelola energi dan SDA yang demokratis. Maka dari itu, pemerintah harus menjamin keterbukaan informasi dengan penguatan dan peningkatan transparansi dan partisipasi masyarakat. Demikian juga hasil Konferensi Nasional Mineral Kritis (KNMK) Indonesia yang diselenggarakan di Palu, Oktober 2024 lalu, yang mendorong transparansi termasuk keterbukaan kontrak dan perizinan.
Selain keterbukaan kontrak, sumbangsih rendahnya nilai transparansi Indonesia juga karena pengaturan kepemilikan manfaat. Indonesia belum mengembangkan sistem verifikasi yang komprehensif, terutama mengenai identifikasi keterpaparan politik pemilik manfaat, kelengkapan dan keakuratan informasi. Selain itu, kekurangan terpenting yang teridentifikasi adalah kurangnya sanksi untuk memastikan kepatuhan.
Temuan validasi EITI itu menyatakan beberapa hal yang menunjukkan kekurangan atau kelemahan pengaturan kepemilikan manfaat di Indonesia. Pertama, belum ada ketentuan yang mengamanatkan identifikasi orang-orang yang memiliki keterpaparan politik di antara pemilik manfaat. Kedua, Permenkumham Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi tidak memiliki ketentuan mengenai informasi yang wajib disampaikan oleh perusahaan terbuka atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ketiga, data kepemilikan manfaat yang dapat diakses melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Administrasi Hukum Umum (AHU), Kementerian Hukum tidak menjamin kelengkapan pengungkapan data. Keempat, informasi tentang kepemilikan manfaat pemohon dan penawar lisensi pertambangan, batu bara, migas yang dikumpulkan secara komprehensif oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui platform kepemilikan manfaat mereka tidak diungkapkan ke publik. Kelima, Indonesia belum mengembangkan sistem verifikasi yang komprehensif untuk memastikan keakuratan informasi kepemilikan manfaat yang diberikan. Dan terakhir, sanksi atas kepatuhan perusahaan yang bertujuan meningkatkan transparansi perusahaan.
Indonesia didorong memastikan pengumpulan kepemilikan mencakup semua sarana pengendalian potensial, termasuk nominee, serta pelaporan kewajiban Politically Exposed Person (PEP).
Terkai PEP ini, berdasarkan laporan Transparency International (TI) Indonesia berjudul Transparency in Corporate Reporting: Penilaian Perusahaan Tambang di Indonesia yang mengindikasikan bahwa masih banyak perusahaan tambang, baik yang dikelola oleh negara maupun swasta, juga cenderung tidak transparan terkait aktivitas perusahaan dan keterlibatannya dalam politik.
Indonesia juga harus memastikan sarana untuk memverifikasi keakuratan informasi kepemilikan manfaat yang dikumpulkan serta memastikan sanksi atas kurangnya kepatuhan.
Kontribusi sosial dan lingkungan dalam industri ekstraktif juga menjadi persoalan dalam aspek transparansi. Hasil validasi EITI itu mengungkapkan , tidak semua perusahaan memberikan informasi mengenai pengeluaran tanggung jawab sosial/corporate social responsibility (CSR) secara komprehensif dan sistematis. Kepatuhan perusahaan untuk melaporkan pengeluaran sosial dan lingkungan, termasuk apakah pembayaran dilakukan kepada pihak ketiga, penerima manfaat, atau diberikan dalam bentuk barang masih menjadi persoalan.
Indonesia harus mendorong perbaikan dalam pelaporan kewajiban sosial dan lingkungan perusahaan ekstraktif dan keterbukaannya kepada publik. Setiap penerima manfaat non-pemerintah (pihak ketiga) dari pengeluaran sosial harus didorong untuk wajib diungkapkan.
Temuan TI Indonesia dalam laporan Transparency in Corporate Reporting: Penilaian Perusahaan Tambang di Indonesia (2024), sangat sedikit perusahaan mengumumkan rincian pemberian CSR. Dari 121 perusahaan tambang di Indonesia, hanya 3 di antaranya yang mengumumkan secara rinci pemberian CSR tersebut.
Menjadi Tantangan Prabowo-Gibran
Transparansi masih menjadi persoalan yang belum selesai. Hingga pada akhirnya, korupsi sektor sumber daya alam tetap ada dan berpotensi mengakibatkan fenomena kutukan sumber daya alam semakin dekat. Begitulah sejarah telah membuktikan. Lahirnya gerakan kampanye publish what you pay oleh Global Witness dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) di tahun 2003, dapat menjadi bukti betapa transparansi menjadi salah satu persoalan utama dalam tata kelola sumber daya alam.
Rendahnya aspek transparansi dari hasil validasi EITI tersebut, tentu menjadi tantangan bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Sebagaimana dalam Asta Cita, akan memperkokoh demokrasi serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi. Baik memperkokoh demokrasi maupun pencegahan dan pemberantasan korupsi, transparansi adalah prasyaratnya. Tanpa transparansi, semua hanya komitmen di atas kertas tanpa realisasi.
Dalam konteks kepemimpinan, keberpihakan politik roda pemerintahan pada keterbukaan informasi atau transparansi dalam memastikan sumber daya alam dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat merupakan hal penting. Sebagaimana ditulis Terry Lynn Karl dalam buku Escaping the Resource Curse, kutukan sumber daya alam bukan persoalan ekonomi, melainkan politik. Dan masalah utamanya, transparansi. Meskipun pandangan itu disampaikan dalam konteks minyak, namun sejatinya telah menggambarkan konteks sumber daya alam keseluruhan.
Lalu, akan bagaimana transparansi sektor ekstraktif di masa pemerintahan Prabowo-Gibran? Dapatkah persoalan-persoalan tersebut diatasi sehingga mendorong aspek transparansi semakin baik, atau malah sebaliknya? Hanya komitmen, keberpihakan dan waktu yang bisa menjawab. Oleh karena itu, mari mengawal!
Terbit juga di Indonesiana