Beragam polemik terkait proses penyusunan Omnibus Law RUU Cipta Kerja masih berlanjut, baik dari segi prosedur, proses maupun substansi. Hal ini kembali menjadi pembicaraan dalam Diskusi Media yang diselenggarakan oleh PWYP Indonesia bertema “Polemik RUU Cipta Kerja di Sektor Minerba” pada Senin (24/2) lalu di Jakarta. Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi PWYP Indonesia yang bertugas sebagai moderator, membuka diskusi dengan mengundang sejumlah pembicara dari wakil pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan organisasi masyarakat sipil.

Deri Dariawan ST. sebagai wakil dari Dinas Energi Pemerintah Provinsi Banten, mengatakan bahwa pemerintah daerahnya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, tidak dalam posisi menerima ataupun menolak RUU Cipta Kerja. Dirinya bercerita mengenai kondisi pengelolaan pertambangan minerba, dimana pembatasan kewenangan sebagaimana UU No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, memang didasarkan pada wilayah administrasi. Namun, untuk soal kebijakan serta Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK), semuanya sudah menjadi kewenangan pusat. Ketentuan tersebut kemudian diperbaharui melalui UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dimana pemerintah daerah tidak lagi memiliki kewenangan di sektor kehutanan, kelautan, energi dan SDA. Kewenangan pemerintah provinsi kini (setelah uu Pemda ditetapkan) terbatas pada 7 hal, di antaranya penetapan WIUP, penerbitan izin IUP (logam, non-logam dan batuan), IPR, penetapan harga patokan tambang (non logam dan batuan), serta jasa pertambangan.

Berkaitan dengan RUU Cipta Kerja di sektor ESDM, Deri mengaku adanya banyak perubahan dari segi substansi. Secara umum, Dirinya mengatakan bahwa berdasarkan evaluasinya di daerah, terdapat permasalahan pengelolaan pertambangan terutama dari aspek pengawasan dan pengendalian. Hal tersebut terkait dengan adanya indikasi kebocoran penerimaan negara, kerusakan lingkungan, konflik sosial, serta Pertambangan Tanpa Izin (PETI). “Dari 4 hal tersebut, kalau dikerucutkan, lemahnya terdapat di pengawasan dan pengendalian. Jadi, sebetulnya peraturannya sudah bagus, namun impementasinya yang kurang.” Terang Deri.

Sebagai sumber daya alam non-terbarukan, Deri juga mengingatkan kepada pemerintah pusat untuk mengkaji kembali sebelum SDA yang berperan penting bagi modal pembangunan tersebut dieksploitasi secara besar-besaran. “Kalau semangatnya adalah investasi seluas-luasnya, maka dipastikan SDA ini akan lebih cepat habis dari yang diperkirakan”. Di sisi lain, eksploitasi melalui pembukaan investasi tersebut tentunya akan menimbulkan efek pada perubahan lingkungan. “Minimal fungsi lingkungan pasca tambang pasti akan berubah” Imbuhnya.

Jika ditelisik lebih detil, Deri menerangkan bahwa jika RUU CK disahkan, maka kewenangan pemerintah daerah dalam hal pelayanan perizinan, pengawasan, dan pembinaan tidak ada lagi karena akan dilimpahkan ke pemerintah pusat. “Pertanyaanya, apakah pemerintah pusat sudah siap baik dari segi SDM, sarana-prasarana, metode dan lain sebagainya. Sebab kalau kami di daerah, dampaknya ialah sejumlah Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) akan hilang”. Untuk itu, terdapat tiga hal yang penting dipastikan untuk daerah, yaitu “agar daerah mendapatkan manfaat dari segi keuangan, lingkungan jangan sampai rusak, serta terwujudnya kepentingan masyarakat adat dan lokal terkait tanah maupun peningkatan pendapatan.” Tutupnya.

Sementara itu, Prof. Irwandy Arif selaku Staf Khusus Kementerian ESDM dalam presentasinya menjelaskan bahwa latar belakang penyusunan RUU Cipta Kerja berkaitan dengan kondisi saat ini dimana terdapat hiper regulasi, rendahnya daya saing Indonesia, kebutuhan lapangan kerja, dan ketidakpastian global. Oleh karenanya, tujuan dari RUU Cipta Kerja adalah untuk mendukung tercapainya pertumbuhnan ekonomi (growth); pemerataan ekonomi (inclusiveness); ketahanan ekonomi (resilience); dan daya saing ekonomi (competitiveness).

Sumber: Presentasi Prof. Irwandy Arif, 24 Februari 2020, Jakarta

Adapun mengenasi polemik yang berkembang terhadap substansi pasal di dalam RUU Cipta Kerja, dirinya menghimbau agar masyarakat tidak perlu khawatir karena hal tersebut akan diatur kembali dalam ketentuan perundang-undangan turunan. “Jika interpretasinya salah, maka semuanya (terlihat) salah.” Ujarnya. Selain itu, RUU tersebut bagaimanapun masih bersifat draf, sehingga masih terbuka terhadap masukan publik.

Selain wakil dari Pemerintah Daerah dan Pusat, Diskusi Media ini juga dihadiri oleh wakil dari organisasi masyarakat sipil yakni Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Maryati Abdullah, serta Peneliti Auriga Nusantara, Muhammad Iqbal Damanik. Dalam diskusinya, Maryati memberikan pandangan umum pada beberapa aspek dalam RUU Cipta Kerja dimana terdapat beberapa pasal yang redundant satu sama lain secara logika, sehingga mengandung kontradiksi. Sementara menurut Iqbal, polemik RUU Cipta Kerja sebenarnya dapat diakhiri dengan menarik kembali draf tersebut untuk dikaji ulang dengan melibatkan partisipasi aktif publik lebih luas.

Maryati Abdullah dalam diskusi tersebut mengkhawatirkan adanya resentralisasi semua perizinan di sektor sumber daya alam ke tingkat pusat. Hal tersebut dipandang tidak sejalan dengan nilai-nilai reformasi dan dikhawatirkan akan menurunkan kohesi ekonomi politik antara pusat dan daerah. Pandangan ini didasari atas pentingnya Daerah diberi diskresi dalam mengelola potensi ekonomi daerah sebagai bentuk penghargaan atas right of ownership masyarakat lokal atas sumber daya yang dimilikinya. Jika selama ini dipandang terdapat masalah seperti tumpang tindih, prosedur yang panjang, atau adanya pungli maupun conflict of interest (relasi politik lokal-perizinan SDA), maka semestinya diskresi tersebut dibarengi oleh syarat dan ketentuan yang ketat, bukan dengan mencabut seluruhnya.

Maryati juga berpandangan RUU ini memerlukan penyesuaian lebih lanjut misalnya terkait dengan ketentuan mengenai dana perimbangan di sektor SDA, serta banyaknya pendelegasian pengaturan ke PP (Peraturan Pemerintah) yang justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang baru, dimana hal ini bertentangan dengan tujuan Omnibus Law itu sendiri. Di samping itu, masyarakat berpandangan ketentuan penghapusan kewajiban DMO tidak tepat jika memang sudah diwajibkan semua pemegang izin untuk melakukan peningkatan nilai tambah/hilirisasi di dalam negeri. Selain itu, kemudahan prosedur perpanjangan PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) yang kabarnya dapat meningkatkan penerimaan negara tidak sejalan dengan ketentuan yang dapat diberikannya insentif royalti sampai 0% kepada pemegang izin yang melakukan integrasi hilirisasi dan pemanfaatan minerba di dalam negeri. Untuk itu, RUU Cipta Kerja memerlukan kajian yang lebih mendalam baik dari segi konteks sektor maupun dampaknya ke depan. (AA)


Pemberitaan lain seputar Diskusi Media ini dapat juga dilihat di: