Tak hanya negara, ternyata sains pun perlu mendemokratisasikan dirinya. Hal ini terungkap dalam diskusi mingguan PWYP Knowledge Forum (PKF) ke-4 bertajuk “Sains, Teknologi, dan Aktivisme” untuk Perbaikan Kebijakan Publik, yang berlangsung (12/2) lalu.

Sonny Mumbunan, salah satu pemantik diskusi memaparkan sains dan pengetahuan kebijakan publik bisa digunakan sebagai instrumen untuk menyelesaikan masalah secara spesifik. Sains juga bisa digunakan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik.

Peneliti ekonomi lingkungan di RCCC UI ini, memaparkan tentang dua komunitas yaitu komunitas scientist dan komunitas policy maker. Ada yang mengatakan bahwa scientist dan policy maker ini terpisah, karena, mempunyai bahasa, norma, dan sistem reward yang berbeda. Scientist melakukan pencarian yang sistematis dengan pemahaman yang bisa diandalkan sekaligus akurat, sedangkan policy maker lebih cenderung memberi respon praktis terhadap permasalahan kebijakan yang terjadi.

Sonny mengelaborasi tentang scientist sekarang yang cenderung “tidak scientist.” Dalam membuat kebijakan publik atau yang biasa disebut politisasi sains, sebuah posisi dimana scientist tidak menunjukkan posisi mereka sebagai seorang scientist karena pengaruh kekuasaan.

Contoh konkret adalah kebijakan publik terkait perubahan iklim. Kebijakan yang diambil terlihat bahwa para scientist yang memiliki pengalaman cenderung lebih toleran/mudah berdamai dengan kekuasaan yang ada di sekitarnya. Sehingga terlihat dari kebijakan yang diambil, penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 2 derajat, cenderung tidak ambisius atau tidak koheren. Di sinilah Sonny menekankan pentingnya demokratisasi sains, ketika scientist berjarak dengan kekuasaan dan memberi rekomendasi yang berdasar pada keakurasian sains.

Narasumber kedua, Irendra Radjawali specialis Geographic Information System (GIS) dan wahana tanpa awak (drone), mengutip Simone de Beauvoir “I am incapable of conceiving infinity and yet I do not accept finity”, yang mempertanyakan tentang hiperealitas (kondisi melampaui realitas). Menurut Irendra Radjawali, saat ini masih banyak kebijakan-kebijakan cenderung masih hiperealitas dan belum menyentuh akar rumput.

Saat ini kita disuguhi dengan grafik-grafik pertumbuhan yang membuat kita bertanya apakah fakta yang diangkat adalah kenyataan sebetulnya. Oleh karenanya, Radja menekankan agar aktivis NGO dalam melakukan aktivismenya, jangan sampai terjebak dalam hiperealitas. Hasil riset dan temuan-temuan advokasi harus berpijak pada temuan-temuan di akar rumput.