MENGAWAL , Mengawal . Begitulah tema diskusi yang diselenggarakan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia —koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas tata kelola energi dan (SDA), beberapa hari lalu, sebelum memasuki masa tenang Pilkada Serentak 2024.
Tema itu menekankan pesan bahwa pemilihan kepala daerah (Pilkada) bukan hanya tentang politik pemenangan atau kontestasi perebutan kekuasaan semata.
Pilkada juga tentang bagaimana memastikan SDA dikelola sebagaimana mestinya; untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat konstitusi.
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 berbunyi, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Dalam konteks ini, pemerintah daerah memiliki peran penting; sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah pusat dalam memastikan SDA betul-betul digunakan untuk kepentingan rakyat.
Namun, seringkali muncul kritik dari masyarakat. Khususnya dari daerah-daerah yang kaya SDA, bahwa kekayaan sumber daya alamnya dieksploitasi, tapi tidak memberikan dampak signifikan terhadap pembangunan dan kesejahteraan daerah tersebut.
Hasil eksploitasi di daerah hanya dirasakan oleh mereka di Jakarta (pemerintah pusat) dan melupakan pembangunan di daerah.
Sehingga, ketika daerah kaya SDA terus dieksploitasi, tapi tidak memberi dampak positif terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah bersangkutan, yang selalu dijadikan ‘kambing hitam’ adalah pemerintah pusat.
Kritik tersebut sebenarnya kurang lengkap. Hasil eksploitasi SDA yang tidak membawa dampak positif bagi daerah bersangkutan, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tapi juga pemerintah daerah.
Justru, pemerintah daerah yang menjadi ujung tombak memastikan hasil SDA betul-betul berdampak positif untuk pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Tentu saja, terwujudnya pembangunan dan kesejahteraan masyarakat dari hasil SDA ditentukan dari kepemimpinan pemerintahan di daerah. Di sinilah pentingnya kepala daerah dalam memastikan SDA dipergunakan sebagaimana amanat pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Dalam sistem keuangan Indonesia, hasil SDA akan kembali ke daerah. Pendapatan dari sektor SDA masuk ke pemerintah pusat dan disalurkan ke pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan.
Singkatnya, seluruh pendapatan sektor SDA masuk ke Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), yang dalam hal ini dikelola pemerintah pusat.
Dari APBN, dana disalurkan ke pemerintah daerah melalui Dana Bagi Hasil (DBH), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
DBH dialokasikan berdasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagi-hasilkan satu tahun sebelumnya dalam rangka memberikan kepastian penerimaan bagi daerah.
Selain itu, pengalokasian DBH akan memperhitungkan kinerja daerah dalam memperkuat penerimaan negara yang dibagi-hasilkan ataupun perbaikan lingkungan yang terdampak akibat aktivitas eksploitasi.
Dalam UU itu, DBH terdiri dari dua, salah satunya dari SDA, terdiri dari kehutanan, mineral dan batu bara, minyak dan gas bumi, panas bumi dan perikanan.
Pembagian DBH SDA dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dilakukan berdasarkan proporsi sebagaimana dijelaskan pasal 115 hingga pasal 123 UU HKPD.
Dana DBH tersebut ditransfer ke pemerintah daerah dan masuk menjadi bagian dari pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Artinya, pemerintah daerah mengelola dana hasil sumber daya alam.
Keberpihakan kepala daerah
Keberpihakan seorang kepala daerah terhadap kepentingan rakyat dalam pengelolaan dana hasil SDA menjadi sangat penting. Tanpa keberpihakan itu, amanat pasal 33 ayat 3 UUD 1945 hanyalah menjadi narasi belaka.
Daerah akan tidak berkembang, tanpa pembangunan, tanpa kesejahteraan, sementara SDA terus dieksploitasi hingga justru melahirkan kerusakan lingkungan dan penurunan kualitas hidup.
Kegagalan mengelola hasil SDA —dana DBH SDA, mengakibatkan eksploitasi SDA tidak berdampak signifikan terhadap pembangunan dan kesejahteraan di daerah bersangkutan.
Aktor penting yang bisa memastikan gagal atau tidaknya pengelolaan hasil SDA, yakni kepala daerah.
Mengutip situs website PWYP Indonesia, berdasarkan hasil penelitian Hania Rahma —seorang pemerhati isu SDA sekaligus akademisi Universitas Indonesia, terkait fenomena kutukan SDA/natural resource curse (NRC) dalam pembangunan wilayah di Indonesia, di antaranya menyebut penerimaan daerah penghasil tambang tidak menjamin terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang masif. Kemudian daerah yang melakukan ekstraksi SDA rentan terkena fenomena kutukan SDA.
Istilah kutukan SDA dalam hal ini, merujuk pada suatu daerah atau negara yang memiliki SDA, tapi tak serta merta menjadi kaya.
Mengutip Wikipedia, kutukan SDA juga disebut paradoks keberlimpahan. Negara dan daerah kaya akan sumber daya alam, terutama sumber daya non-terbarukan seperti mineral dan bahan bakar, cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi lebih lambat dan wujud pembangunan lebih buruk ketimbang negara-negara yang sumber daya alamnya langka.
Dalam penelitian Hania Rahma, variabel yang paling kuat berpengaruh terhadap hasil penelitian di antaranya integritas kepala daerah. Integritas kepala daerah juga berpengaruh kuat terhadap kualitas lingkungan hidup.
Integritas kepala daerah terhadap reklamasi dan royalti memiliki pengaruh kuat dalam memengaruhi suatu daerah yang mengalami kutukan SDA.
Apa yang disampaikan di atas, hanyalah satu dari sekian banyak peran kepala daerah dalam memastikan SDA dikelola dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat konstitusi; pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Pada momentum Pilkada Serentak 2024 ini, pastikan kita memilih kepala daerah yang berintegritas, berpihak pada kepentingan rakyat, berpihak pada amanat konstitusi, dapat memastikan SDA digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Ya, mengawal Pilkada berarti juga mengawal SDA untuk rakyat. Pilkada yang melahirkan kepala daerah berintegritas akan membawa daerah keluar dari kutukan SDA.
Sumber: Kompas