Menjelang berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Negara G20, yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, masyarakat sipil yang tergabung dalam Indonesian Civil Society Forum on Foreign Policy (ICFP) menyampaikan sejumlah catatan penting terkait perubahan iklim serta penggelapan pajak di sektor ektraktif. Hal ini disampaikan dalam konferensi pers yang berlangsung awal Juli lalu.

Outreach Officer Institute for Essential Service Reform (IESR), Yesi Maryam menyampaikan bahwa negara-negara G20 sudah mulai melakukan aktivitas ekonomi rendah karbon atau dekarbonisasi, namun progresnya masih lemah. Menurutnya, peran negara G20 sangat signifikan terhadap turunnya emisi karbon, karena negara G20 merupakan penyumbang 75% emisi gas rumah kaca, dan penyumbang 82% emisi karbon. Jika kondisi ini terus berlanjut, suhu bumi bisa meningkat sekitar 3-40 C.

Dalam laporan Brown to Green yang disusun oleh Climate Transparency dimana IESR sebagai mitra di Indonesia, performa Indonesia masih belum baik. Emisi karbon yang dihasilkan Indonesia di tahun 2015 masih menempati posisi tertinggi di antara negara G20 lainnya. Kebijakan iklim Indonesia dalam penurunan emisi karbon 29% di 2030 secara business as usual dianggap masih lemah. Investasi di sektor energi terbarukan masih rendah, dan bauran energi masih didominasi oleh batubara. Yesi menambahkan, Presiden Jokowi perlu lebih berkomitmen dalam penurunan emisi karbon sesuai dengan kesepakatan Paris.

Chalisa Chalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan WALHI menyampaikan bahwa Indonesia perlu lebih proaktif dalam menjalankan diplomasi internasionalnya. Indonesia jangan hanya menjadi follower, namun harus punya agenda prioritas. Sebagai negara dengan ketimpangan yang cukup tinggi, Indonesia bisa fokus pada target penurunan kemiskinan dan ketimpangan sesuai dengan target pembangunan berkelanjutan.

Di sektor sumber daya migas dan minerba, dimana seringkali terjadi praktik penghindaran dan penggelapan pajak, menurut Maryati Abdullah Koordinator Nasional PWYP Indonesia, seharusnya Indonesia bisa lebih proaktif dalam memanfaatkan kerjasama internasional negara G20.

Menurutnya Indonesia bisa memanfaatkan Anti Corruption Working Group (ACWG) dan International Tax Corporation and Financial Architecture sebagai medium diplomasi dalam penerapan transparansi Beneficial Ownership dan Political Exposed Person dalam mencegah penghindaran pajak dan aliran uang haram.