Jakarta – Hari pertama rangkaian Pertemuan Regional Organisasi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan ditutup dengan diskusi bertajuk “Pengarusutamaan GEDSI Dalam Transisi Energi Berkeadilan di ASEAN”. Hadir sebagai narasumber pada sesi tersebut diantaranya Mouna Wasef, Kepala Divisi Advokasi dan Riset Publish What You Pay (PWYP) Indonesia; Syaharani, Peneliti Indonesian Center of Environmental Law (ICEL); Khim Sok, Manajer Program Tata Kelola Sumber Daya Alam Oxfam in Cambodia; dan Kaneka Keo, Projek Manajer Inklusif, Oxfam in Cambodia. Sesi ini dimoderatori oleh Joel Chester Pagulayan, Tim Advokasi untuk Perubahan Iklim dan Transisi Energy, Oxfam in Philippines. Sesi ini bertujuan untuk membahas konsep umum transisi energi yang berkeadilan dalam konteks ASEAN, dan membahas kesetaraan gender serta dimensi transisi energi yang berkeadilan yang berpusat pada level komunitas di masyarakat ASEAN.

Kaneka Keo, menyampaikan bahwa rencana transisi energi diproyeksikan untuk menghasilkan pengurangan bahan bakar fosil secara signifikan, khususnya energi batubara menuju dekarbonisasi dan Net-Zero. Ia menyampaikan sudut pandang tantangan transisi energi berkeadilan pada level komunitas di sekitar Mekong Region. Tantangan yang dihadapi saat ini diantaranya adalah kemiskinan energi, kerentanan iklim, dampak negatif yang buruk pada komunitas adat, isu seputar pelanggaran masyarakat dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Menurut Kaneka, transisi energi berkeadilan dapat dimulai dengan mengatasi kemiskinan energi, khususnya elektrifikasi modern yang merupakan upaya penting dalam sasaran pembagunan. Jika ditangani, elektrifikasi akan mendatangkan manfaat untuk pembangunan berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat berperspektif gender. Sistem energi terbarukan pada skala komunitas juga harus berpusat pada masyarakat adat, karena mereka lah yang merasakan dampak paling kuat dari transisi energi ini.

Syaharani mengeksplorasi lebih jauh transisi energi pada konteks Indonesia. Indonesia merupakan salah satu produksen dan eksportir batubara terbesar di dunia dan memiliki batubara yang memasok lebih dari 60 persen kebutuhan listriknya. Pada 2020, sektor energi adalah penghasil emisi tertinggi dengan produksi listrik merupakan sumber emisi terbesar. Bauran energi terbarukan di Indonesia juga masih stagnan di 12 persen dibandingkan target 23 persen pada 2025.

Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang pengaturan percepatan pengembangan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan. Dalam rangka transisi energi sektor ketenagalistrikan, Menteri ESDM menyusun peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yang dituangkan dalam dokumen perencanaan sektoral ditetapkan untuk mempercepat transisi energi di Indonesia. Namun, diperlukan lebih banyak upaya untuk memastikan transisi berjalan lancar dan adil. Syaharani mengungkapkan beberapa hal yang dibutuhkan untuk dilakukan diantaranya, target jangka menengah dan panjang yang mengikat secara hukum untuk melakukan dekarbonisasi energi, dengan menyertakan komitmen yang kuat untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil. Klausul yang mengamanatkan transisi energi yang adil dan mengakui implikasi hak asasi manusia di dalamnya. Peraturan yang menyamakan kedudukan energi terbarukan di pasar, termasuk merevisi undang-undang dan peraturan sektoral, serta mengintegrasikan transisi energi ke dalam perencanaan energi (Kebijakan Energi Nasional, Rencana Umum Energi Nasional, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional) dokumen iklim (Nationally Determined Contribution, Indonesia Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience) dan perencanaan lingkungan hidup.

Syaharani juga mengulas terkait tata kelola yang jelas dan efektif, seperti akses kepada informasi, akses kepada partisipasi, dan pengaturan kelembagaan yang kuat. Dalam paparannya, Ia mengatakan penting untuk mengintegrasikan Gender Equality, Disability, dan Social Inclusion dalam transisi energi yang berkeadilan.

Khim Sok menjelaskan pengaruh transisi energi berkeadilan di level ASEAN. Negara-negara anggota ASEAN tergolong sebagai negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, namun bahan bakar fosil masih menyumbang 79 persen dari bauran energi di kawasan ini. Negara anggota ASEAN telah berkomitmen menggunakan energi terbarukan sebagai 23 persen dari pasokan energi dan 35 persen kapasitas terpasang pada tahun 2025 – namun diperlukan investasi sebesar USD 290 Miliar.

Mouna Wasef menyampaikan upaya integrasi GEDSI pada transisi energi berkeadilan. Terdapat lima indikator untuk mengintegrasikan GEDSI pada transisi energi berkeadilan, diantaranya adalah partisipasi dan kontrol dalam membuat keputusan, manfaat ekonomi, akses terhadap sumber daya alam, pendidikan, dan informasi, integrasi sosial budaya, dan mekanisme perbaikan dan keluhan.

Mouna menitikberatkan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengintegrasikan GEDSI pada transisi energi berkeadilan. Seperti sosialisasi transisi energi secara komprehensif dengan menggunakan bahasa daerah, video yang mudah dipahami, dan huruf Braille. Meningkatkan kapasitas perempuan dan kelompok rentan lainnya di sekitar proyek transisi energi. Penandaan anggaran gender untuk kelompok perempuan di tingkat lokasi. Proporsi pembiayaan transisi energi untuk pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat. Proyek transisi energi menggunakan model kepemilikan kolektif. Kontrol atas pilihan teknologi dan format yang digunakan. Mendapatkan jaminan subsidi untuk produk konversi/transisi energi. Proses transisi energi mempertimbangkan kesenjangan desa-kota. Serta, platform mekanisme penanganan pengaduan yang terintegrasi.

Rangkaian Pertemuan Regional Organisasi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan yang dihadiri lebih dari 70 Organisasi Masyarakat Sipil ini diselenggarakan pada 29-30 Agustus 2023 di Jakarta. Ini merupakan pertemuan pemikiran, perpaduan pengalaman, dan bukti komitmen organisasi masyarakat sipil (OMS), pemerintah, dan pembuat kebijakan untuk memetakan arah menuju masa depan yang berkelanjutan dan berkeadilan secara kolaboratif, khususnya di kawasan Asia Tenggara

Penulis : Chitra Regina Apris
Reviewer: Aryanto Nugroho