Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia didukung oleh Oxfam Indonesia selenggarakan pertemuan regional organisasi masyarakat sipil untuk kawasan Asia Tenggara terkait transisi energi berkeadilan di Jakarta pada 29 hingga 31 Agustus 2023. Lebih dari sekadar pertemuan, ini merupakan pertemuan pemikiran, perpaduan pengalaman, dan bukti komitmen organisasi masyarakat sipil (OMS), pemerintah, dan pembuat kebijakan untuk memetakan arah menuju masa depan yang berkelanjutan dan berkeadilan secara kolaboratif, khususnya di kawasan Asia Tenggara.
Di jantung Asia Tenggara, sebuah perubahan besar sedang berlangsung. Pergeseran energi fosil yang kotor menuju energi yang lebih bersih dan sistem energi yang lebih adil dan merata. Wilayah Asia Tenggara, yang terdirii dari berbagai negara, sedang berada di titik kritis dalam perjalanannya menuju keadilan ekonomi dan iklim. Perjalanan ini, yang dikenal sebagai Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition/JET), diharapkan dapat mengubah arah produksi, konsumsi, dan konservasi energi sambil menjaga lingkungan dan mempromosikan kesejahteraan sosial.
Mengapa Transisi Energi Berkeadilan sangat penting bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara? Jawabannya terletak pada konsekuensinya yang luas. Keputusan mengenai produksi energi, konsumsi, dan mitigasi gas rumah kaca akan beresonansi sepanjang waktu, membentuk ketersediaan sumber daya energi, emisi global, dan lingkungan yang kita wariskan kepada generasi mendatang.
Dengan populasi penduduk berusia muda, negara di kawasan Asia Tenggara memiliki aset unik untuk pertumbuhan ekonomi. Namun, keuntungan demografis ini juga menggarisbawahi urgensi dari investasi di bidang energi terbarukan. Seiring dengan berkurangnya industri bahan bakar fosil, negara di kawasan Asia Tenggara harus menciptakan lapangan kerja energi bersih yang baru yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan melakukannya secara adil dan merata, tanpa meninggalkan satu pun masyarakat.
Selain itu, negara di kawasan Asia Tenggara tidak dapat mengabaikan dampak perubahan iklim yang tidak proporsional terhadap komunitas yang terpinggirkan-perempuan, masyarakat adat, dan mereka yang hidup dalam kemiskinan. Transisi Energi yang Berkeadilan adalah komitmen untuk memastikan bahwa komunitas-komunitas ini tidak hanya mampu menghadapi badai perubahan iklim, tetapi juga memetik manfaat dari transisi menuju masa depan energi bersih.
Momentum menuju energi bersih negara-negara di kawasan Asia Tenggara tidak dapat dipungkiri. Meningkatnya biaya bahan bakar fosil, meningkatnya kesadaran akan krisis iklim, dan berkembangnya teknologi energi bersih telah menjadi titik tolak transformasi. Rencana Kerja Sama Energi 2021-2025 melalui The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) merupakan bukti komitmen kawasan ini, yang menguraikan target-target ambisius, termasuk pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 25% pada tahun 2030.
Organisasi Masyarakat Sipil atau Civil Society Organizations (CSO), sebagai penggerak advokasi, pendidikan, dan dukungan, menjadi pusat dari transisi ini. CSO telah muncul sebagai pemain kunci, mengadvokasi kebijakan yang mempromosikan penggunaan energi bersih, melindungi pekerja dan masyarakat, dan mengatasi dampak perubahan iklim yang tidak merata. Mereka mengedukasi masyarakat tentang manfaat dan tantangan dari Transisi Energi Berkeadilan serta menyediakan sumber daya dan advokasi yang penting bagi masyarakat yang terdampak.
Untuk memastikan transisi yang adil dan merata, kolaborasi sangat penting. Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan pembuat kebijakan harus terlibat dalam dialog dan koordinasi yang berkelanjutan. Suara dan kebutuhan pekerja, masyarakat, dan kelompok-kelompok yang terpinggirkan harus menjadi yang terdepan dalam pengambilan keputusan.
Pertemuan Regional CSO tentang Transisi Energi Berkeadilan adalah platform dialog, aksi, dan kolaborasi kami yang dihadiri lebih dari 70 perwakilan CSO yang bekerja di sektor energi dan perubahan iklim ini bertujuan untuk:
- Mendiskusikan Narasi JET di Tingkat Negara: yaitu menggali pengalaman unik negara-negara di kawasab Asia Tenggara dalam perjalanan JET mereka, dan menumbuhkan pemahaman yang lebih dalam tentang lanskap regional.
- Menjelajahi tantangan dan peluang: yaitu mengungkap tantangan dan peluang dalam mengimplementasikan Transisi Energi Berkeadilan secara nasional melalui diskusi yang mendalam.
- Mempromosikan kolaborasi di tingkat regional: yaitu memetakan peta jalan untuk bekerja sama di tingkat regional. Kolaborasi di antara CSO akan menjadi landasan dari upaya ini, untuk memperkuat dampak kolektif kita.
Hari pertama pertemuan regional CSO ini, diawali dengan Diskusi Publik bertajuk “Lanskap Energi di ASEAN” yang menghadirkan sejumlah narasumber diantaranya Muhammad Alhaqurahman Isa, perwakilan Direktorat Jenderal Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), Aldilla Noor Rakhiemah, Senior Officer of Power, Fossil Fuel, and Alternative Storage, ASEAN Center for Energy dan Deon Arinaldo, Energy Transformation Program Manager, Institute for Essential Services Reform (IESR), serta dimoderatori oleh Shubert Ciencia, Influencing Coordinator for GRAISEA, Oxfam in Asia.
Aldilla menjelaskan bahwa ASEAN merupakan kawasan yang signifikan, terdiri dari 8,7% populasi dunia, dengan total populasi yang diperkirakan mencapai 792 juta pada tahun 2050. Kawasan ini telah mengalami pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) rata-rata sebesar 4,7%, yang berkorelasi dengan permintaan energi yang terus meningkat. ASEAN Energy Outlook, memprediksi kebutuhan energi yang lebih tinggi pada tahun 2050, terutama didorong oleh pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, bahkan dengan mempertimbangkan berbagai skenario, termasuk kebijakan energi dan target Kontribusi yang Diniatkan Secara Nasional (NDC), bahan bakar fosil masih mendominasi sektor energi ASEAN sehingga meningkatkan emisi gas rumah kaca.
“ASEAN memiliki cetak biru kerja sama energi untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, dan fase saat ini, yang dikenal sebagai Fase Dua, mencakup tahun 2021 hingga 2025. Temanya adalah mempercepat transisi energi dan memperkuat ketahanan energi melalui inovasi dan kerja sama. Kebijakan ini bertujuan untuk mencapai ketahanan energi, tetapi juga aksesibilitas, keterjangkauan, dan keberlanjutan. Pada tahun 2025, ASEAN menargetkan energi terbarukan mencapai 23% dari total energi primer. Dalam beberapa pertemuan terakhir, para menteri ASEAN menekankan transisi yang adil, dengan menyoroti pentingnya inklusivitas dan keberlanjutan”, imbuh Aldilla.
Selain itu, tantangan yang perlu ASEAN atasi di kawasan ini termasuk memperkuat penyebaran teknologi energi terbarukan, mendiversifikasi sumber energi, meningkatkan interkoneksi jaringan listrik, mengamankan investasi yang signifikan, memastikan koherensi kebijakan, memperluas integrasi regional di luar jaringan listrik, memperkuat kemitraan internasional, dan mengamankan tempat dalam rantai pasokan global.
Sayangnya, untuk ranah bagi CSO sendiri belum ada platform formal untuk terlibat langsung dengan ASEAN. Padahal membentuk sebuah platform resmi yang memfasilitasi komunikasi antara CSO dan pemerintah akan sangat bermanfaat. Platform semacam itu dapat membantu menyampaikan aspirasi CSO dan menjadi jembatan untuk berkolaborasi. Sementara itu, terdapat platform tidak resmi yang dikenal sebagai Komite Energi ASEAN, yang dapat berfungsi sebagai saluran komunikasi untuk konvensi, studi, dan diskusi yang berkaitan dengan energi di kawasan ini. Platform tidak resmi ini dapat menginisiasi dialog antara organisasi masyarakat sipil dan pemerintah, sehingga dapat mendorong kolaborasi.
Muhammad memberikan perspektif tentang Transisi Energi di Indonesia, dimana Indonesia telah secara aktif menangani transisi energi. Pada tahun 2022, rasio elektrifikasi Indonesia mencapai 99,6%, dan Indonesia telah membuat kemajuan dalam pengembangan energi terbarukan. Namun, tantangan masih ada, seperti menyeimbangkan potensi energi terbarukan dengan permintaan yang rendah di daerah terpencil dan biaya energi terbarukan yang relatif tinggi karena subsidi bahan bakar fosil.
“Dengan dukungan internasional, Indonesia telah menetapkan target untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat, yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor energi sebesar 358 hingga 446 juta ton CO2 pada tahun 2030. Untuk mencapai hal ini, Indonesia berfokus pada pemanfaatan energi terbarukan, termasuk tenaga surya, angin, air, panas bumi, dan biomassa, di samping langkah-langkah seperti penggunaan hidrogen dan efisiensi energi. Kolaborasi dengan sektor swasta sangat penting untuk mengamankan investasi yang diperlukan”, jelas Muhammad.
Selanjutnya, Deon menjelaskan pandangannya mengenai Krisis Iklim dan Transisi Energi bahwa duni harus secara signifikan mengurangi emisi gas rumah kaca untuk mengatasi krisis iklim global. Asia Tenggara, dengan lebih dari 50% emisi dari sektor energi, memainkan peran penting. Namun, kesenjangan antara kebijakan yang ada saat ini dan pengurangan emisi yang dibutuhkan masih cukup besar. Negara-negara berkembang seperti negara-negara di Asia Tenggara rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kita harus menggeser bauran energi kita ke arah energi terbarukan.
“Namun, tantangan utama lainnya adalah neraca perdagangan, dimana banyak negara yang mengimpor batu bara, minyak, dan gas, yang dapat mempengaruhi ketahanan energi. Terlepas dari tantangan yang ada, pasar energi terbarukan cukup besar di kawasan ini. Kolaborasi untuk menciptakan pasar produksi energi terbarukan di tingkat regional dapat menjadi pengubah keadaan. Indonesia memiliki kesempatan untuk belajar dari contoh-contoh sukses, seperti peningkatan kapasitas energi terbarukan yang cepat di Vietnam melalui dukungan kebijakan dan penyesuaian tarif”, pungkas Deon.
Penulis Raudatul Jannah
Reviewer: Aryanto Nugroho