Jakarta – Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang (PERPPU) Cipta Kerja yang dirilis beberapa waktu lalu oleh Pemerintah dianggap memiliki berbagai substansi pasal yang bermasalah. Salah satu bagian yang menimbulkan kekhawatiran atas dampak buruk bagi perekonomian, ketahanan energi dan lingkungan hidup adalah Paragraf 5 Pasal 128A berkaitan dengan perubahan iuran produksi/royalti produk hilirisasi batubara menjadi nol persen.
Dalam rangka mengkaji lebih dalam konsekuensi dari pemberlakuan Perpu Cipta Kerja, CELIOS (Center of Economic and Law Studies) telah melakukan studi dan memperoleh berbagai temuan. Hasil kajian tersebut selanjutnya dipaparkan pada Media Briefing CELIOS yang digelar secara daring pada 1 Februari 2023. Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho bersama Tata Mustasya (Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia) menjadi Penanggap dalam diskusi media yang dipandu oleh Adhityani Putri (Direktur Eksekutif, Yayasan Indonesia Cerah).
Adapun studi tersebut sampaikan langsung oleh Bhima Yudhistira (Executive Director CELIOS) dan Muhammad Saleh (Peneliti Hukum CELIOS).
Bhima menyebut bahwa kebijakan royalti 0% untuk turunan batubara merupakan langkah mundur dalam upaya menurunkan emisi karbon. Selain kerugian yang dialami dari sisi lingkungan, CELIOS melakukan estimasi perhitungan potensi kerugian negara akibat pemberlakuan royalti 0% batubara.
“PERPPU Cipta Kerja memberikan efek negatif terhadap transfer dana bagi hasil ke daerah penghasil Sumber Daya Alam (SDA). Padahal, 80% dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) royalti ditransfer ke daerah penghasil, baik level provinsi hingga kabupaten. Tercatat lebih dari 12 provinsi dan puluhan kabupaten masih menggantungkan pendapatan daerahnya dari DBH batubara” ungkap Bhima
Bhima menambahkan bahwa hadirnya insentif royalti 0% bagi hilirisasi batubara, membuat perbankan cenderung kembali melakukan penetrasi kredit ke sektor pertambangan batubara dalam jangka panjang. Per November 2022, penyaluran kredit investasi di sektor pertambangan tumbuh 74,2%, sementara kredit modal kerja ke sektor pertambangan naik 31% secara tahunan. Situasi ini akan menimbulkan risiko pengurangan porsi penyaluran kredit pada sektor yang justru dibutuhkan untuk mempercepat transisi energi.
Sedangkan Saleh menyebut bahwa selain Pasal 128A tentang perubahan royalti 0% hilirisasi batubara, terdapat berbagai pasal yang bermasalah, diantaranya: Pasal 2 dan 3 Tidak Mengadopsi Prinsip Atau Asas Pembangunan Berkelanjutan; Pasal 38 ayat (3) mengatur pinjam pakai hutan untuk pertambangan yang tidak terkontrol dan sangat terpusat; Pasal 25 Pengurangan Keterlibatan Masyarakat dalam Penyusunan Amdal; Pasal 24 Perubahan Konsep tentang Amdal yang hanya menjadi dasar Uji Kelayakan, bukan penentu keputusan; Pasal 162 Norma Represif Bagi Aktivis Tambang; Pasal 110A dan Pasal 110B Penghapusan Pelanggar izin berusaha di kawasan Hutan; Pasal 18 Dihapusnya kecukupan luas kawasan hutan minimal 30 persen; dan Pasal 92, Pasal 35 dan Pasal 292A Tidak ada insentif dan kemudahan untuk dunia usaha melakukan transisi energi terbarukan.
Dalam kesempatan tersebut, Aryanto menyampaikan bahwa kebijakan peningkatan nilai tambah sektor batubara sebenarnya masih setengah hati. Salah satunya, perubahan kata WAJIB menjadi DAPAT bagi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) operasi produksi yang melaksanakan peningkatan nilai tambah dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 (UU Minerba). Selain itu, Aryanto juga menyebut jika royalti 0% juga merupakan bentuk pengistimewaan bagi pemegang IUPK kelanjutan Perjanjian Karaya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) selain pemberikan perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun setiap kali perpanjangan, jika melakukan peningkatan nilai tambah.
Penulis: Aryanto Nugroho