JAKARTA – Pemerintah memulai kegiatan perdagangan karbon khusus pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan mewajibkan 99 PLTU milik 42 perusahaan mengikuti program tersebut. Seluruh pembangkit ini memasok listrik ke jaringan milik PT PLN (Persero) dengan total kapasitas terpasang 33.569 megawatt.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jisman Hutajulu, mengatakan peresmian program perdagangan karbon ditandai dengan rampungnya penetapan nilai Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU).

Inti kebijakan tersebut ialah pemerintah menentukan jumlah emisi gas rumah kaca maksimal yang boleh diproduksi tiap-tiap pembangkit. PLTU akan disebut mengalami defisit emisi jika melebihi batas tersebut dan mengalami surplus jika berhasil menjaga emisi di bawah ambang batas.

Dari penghitungan batas emisi tersebut, Jisman mengimbuhkan, terdapat 10,2 juta ton surplus emisi dan 9,7 juta ton defisit emisi yang terdapat dalam kegiatan operasional PLTU. “Jadi, ada potensi sekitar 500 ribu ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen) yang bisa diperdagangkan peserta tahun ini,” kata dia, kemarin.

Pekerja memeriksa instalasi di Pembangkit Listrik Tenaga Uap Lontar, Tangerang, Banten. TEMPO/Tony Hartawan

Hanya Berlaku di Antara Peserta

Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian Energi, M.P. Dwinugroho, menyatakan transaksi perdagangan karbon hanya berlaku di antara peserta. Mereka tidak bisa membeli dari atau menjual ke pihak lain, selain 99 PLTU yang terdaftar. “Perusahaan juga dilarang berdagang karbon dengan pembangkit milik entitas yang sama,” tuturnya.

Soal harga karbon, pemerintah menyerahkan penentuannya pada mekanisme pasar. Para peserta dipersilakan bernegosiasi menentukan nilai yang sesuai. Kementerian Energi memperkirakan harga karbon bakal sebesar US$ 2-18 per ton CO2e. “Kalau di pasar internasional, bisa US$ 2-99 per ton CO2e.”

Jika sampai akhir tahun tak semua surplus terserap, kata dia, perusahaan bisa memperdagangkannya paling lama dua tahun terhitung sejak akhir periode perdagangan karbon. Sedangkan, jika terdapat kekurangan di pasar karbon, pemerintah bisa menambah ketersediaan PTBAE-PU dan menawarkannya lewat lelang. Pendapatan dari transaksi tersebut akan digunakan untuk membiayai kegiatan yang bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca, pengembangan energi baru dan terbarukan, efisiensi energi, serta mitigasi emisi.

Selain lewat perdagangan langsung, pemerintah membuka opsi offset dari pembangkit listrik energi terbarukan ataupun kegiatan lain di sektor energi yang rendah emisi. Syaratnya, mereka sudah mengantongi Surat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun Nugroho menuturkan pemilik sertifikat tersebut masih terbatas.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Diancam Sanksi

Pelaku usaha yang melakukan perdagangan karbon wajib melapor ke pemerintah melalui Apple-Gatrik, perangkat buatan Kementerian Energi sebagai wadah penghitungan dan pelaporan emisi gas rumah kaca dari pembangkit. Laporan tersebut akan divalidasi dan diverifikasi instansi independen. Jika pelaku usaha mengikuti perdagangan karbon tanpa melapor, transaksi perdagangan karbon yang telah dilakukan tidak diperhitungkan.

Adapun, bagi perusahaan yang tidak mengikuti perdagangan karbon setelah mendapat PTBAE-PU, Kementerian bakal melayangkan surat peringatan. “Selain itu, mereka akan diberi alokasi cap (batas atas pengeluaran emisi gas rumah kaca) yang lebih rendah lagi, biar lebih ketat,” ujar Nugroho.

Menteri ESDM Arifin Tasrif menuturkan perdagangan karbon tahun ini baru permulaan. Pemerintah bakal melibatkan lebih banyak PLTU untuk berpartisipasi. “Ke depan, secara bertahap, perdagangan karbon akan diterapkan pada pembangkit listrik fosil selain PLTU batu bara,” katanya. Selain itu, pembangkit di luar jaringan PLN dan pembangkit untuk usaha penyediaan listrik kepentingan sendiri bakal jadi sasaran.

Dia berharap skema perdagangan karbon ini bisa mendorong pelaku usaha lebih agresif mengurangi emisi. Sekitar 60 persen pembangkit di dalam negeri menggunakan batu bara sehingga sektor ini berkontribusi sekitar 40 persen dari total emisi yang dihasilkan Indonesia.

Indonesia tengah mengejar target-target ambisius pengurangan emisi. Dalam Nationally Determined Contribution, Indonesia sudah berkomitmen menurunkan emisi sektor energi sebanyak 369 juta ton CO2 pada 2030. Selain itu, pemerintah menargetkan bisa mencapai netral karbon pada 2060. Target-target untuk menjadi pengguna energi bersih ini, bahkan mendatangkan pembiayaan lewat skema Just Energy Transition Partnership senilai US$ 20 miliar.

Koordinator Nasional Publish What You Pay, Aryanto Nugroho, menyebut kebijakan perdagangan karbon sebagai langkah maju untuk memberikan inisiatif bagi pengurangan emisi, khususnya dari sektor energi. Namun program ini perlu diselaraskan dengan rencana-rencana pengurangan emisi lain, seperti pensiun dini PLTU. “Jangan sampai kebijakan ini menjadi solusi jangka panjang, dan dipakai untuk menunda rencana pensiun dini PLTU,” katanya.

Direktur Eksekutif Indonesia Center for Renewable Energy Studies, Paul Butarbutar, pun menyebutkan Indonesia sudah maju selangkah untuk mencapai target NDC lewat perdagangan karbon wajib untuk PLTU. Dia berharap sepanjang tahun ini dan 2024 pemerintah mengambil pelajaran dari penerapannya sambil menyiapkan perluasan perdagangan ke sektor lain. “Salah satu yang perlu dipertimbangkan ke depan adalah bagaimana perlakuan terhadap PLTU yang dipensiundinikan dengan adanya kebijakan perdagangan karbon ini,” kata dia.

Sumber: Tempo