Kutai Kartanegara merupakan kabupaten dengan produksi migas yang cukup besar di Indonesia. Tak heran, pendapatan APBD Kukar banyak dikontribusikan dari Dana Bagi Hasil (DBH) Migas. Di tahun 2015 misalnya, DBH Migas Kukar mencapai 5 Triliun, atau 79% dari pendapatan daerah Kukar. Namun, besarnya pendapatan migas ini belum signifikan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di lingkar tambang dan masyarakat Kukar pada umumnya. Salah satu upaya untuk mengoptimalkan pendapatan dari sektor migas untuk masyarakat yaitu dengan pembentukan peraturan daerah mengenai penggunaan lokal konten.
Peraturan Daerah Kutai Kartanegara nomor 3 tahun 2017 tentang Peran Serta Lokal terhadap Industri Ekstraktif Minyak dan Gas Bumi Daerah faktanya masih belum berjalan di lapangan. Peraturan daerah yang merupakan inisiatif DPRD di tahun 2017 ini mengharuskan perusahaan-perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS) yang beroperasi di Kutai Kartanegara untuk memberdayakan produk lokal serta perusahaan lokal yang menjadi mitra penyedia barang dan jasa dalam bisnis migas.
Penelitian Pokja 30 dan PWYP Indonesia mengenai perda lokal konten ini menemukan bahwa: pertama, belum adanya Peraturan Bupati dan SK Bupati pembentukan tim optimalisasi yang menjadi pengawas jalannya perda ini. Tim optimalisasi berdasar pada pasal 24 ayat 2 perda Kukar no 3/2017 menyebutkan bahwa tim optimalisasi terdiri dari unsur pemerintah daerah, Kontraktor Kontrak Kerja sama, dan Mitra Kontraktor Kontrak Kerja sama. Di sisi lain, unsur tim pengawasan ini perlu melibatkan pihak eksternal, yaitu akademisi dan perwakilan masyarakat.
Pasca terbitnya perda lokal konten, seharusnya DPRD mengawal jalannya aturan ini, namun DPRD seolah lepas tangan dan menyerahkan pelaksanaan dan pembentukan regulasi turunan (Perbup dan SK Bupati) kepada eksekutif. Selain itu, perda ini juga belum mengatur sanksi, jika KKKS / Mitra KKKS tidak melakukan kewajibannya dalam menggunakan lokal konten.
Kedua, Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) sebagai pelaksana teknis tidak ada inisiatif untuk menyambut perda lokal konten. OPD terkait seperti Disperindagkop, Disnakertran, dan Bappeda, belum berinisiatif untuk mengajukan usulan Perbup sebagai aturan turunan. Padahal, OPD tersebut terlibat dalam pembentukan Perda lokal konten.
Ketiga, Sosialisasi Perda tidak berjalan efektif. Kurangnya sosialisasi perda lokal konten ini yang menjadi penyebab kurangnya inisiatif dari OPD. Selain itu, Kontraktor Kontrak Kerjasama yang beroperasi di Kukar belum mengetahui adanya perda lokal konten ini. Padahal, perda ini diharapkan menjadi landasan hukum bagi Kontraktor Kerjasama untuk memberdayakan dan menggunakan konten lokal sebagai penyedia barang dan jasa di wilayah kerja mereka.