Jakarta (27/6) – Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Lenny N. Rosalin mengatakan perempuan memiliki peranan penting dalam mendukung isu transisi energi yang merupakan salah satu pilar dalam Presidensi G20 Indonesia.
“Selain sebagai pengguna energi, perempuan juga merupakan pahlawan hijau. Perempuan bisa kita dorong untuk turut berperan aktif menciptakan sumber energi alternatif yang lebih aman, terjangkau, dan memiliki multiplier effect yang positif,” ujar Lenny dalam Konsultasi Publik C20 secara hybrid.
Lenny mengatakan kesenjangan dari pekerjaan yang tidak dibayar atau unpaid care work juga mengakibatkan perempuan harus menanggung dampak dari penggunaan energi tradisional. Data World Health Organization (WHO) menyebutkan sekitar 4 juta orang di dunia meninggal sebelum waktunya akibat polusi udara di tingkat rumah tangga. Hal ini berpengaruh besar terhadap perempuan, terutama yang melakukan pekerjaan di dalam rumah tangga atau tugas domestik.
Selain perlu adanya upaya untuk menurunkan prevalensi orang yang meninggal dunia akibat polusi udara di tingkat rumah tangga, Lenny menilai pentingnya mengatur konsumsi energi yang lebih ramah lingkungan, terutama di lingkungan rumah tangga.
“Penggunaan energi yang bersih di tingkat rumah tangga akan memberikan dampak positif pada kesehatan keluarga. Sebelumnya anak-anak belajar dengan memanfaatkan lampu minyak, sedangkan sekarang sudah menggunakan listrik. Artinya kita juga memberikan kesempatan bagi mereka untuk belajar dengan kondisi yang lebih baik dan kita berkontribusi pada generasi masa depan,” tutur Lenny.
Selain itu, Lenny mengatakan penggunaan akses listrik juga dapat meningkatkan produktivitas perempuan. Pasalnya, waktu yang sebelumnya dialokasikan untuk mencari kayu bakar dapat digunakan untuk aktivitas lain yang lebih produktif.
Dalam kesempatan yang sama, Co-Chair Civil 20, Aryanto Nugroho menerangkan isu transisi energi tetap dibarengi dengan pendekatan Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya.
“Kita ambil contoh transisi energi fosil menjadi energi terbarukan, misalnya panel surya. Transisi ke panel surya ini tentunya membutuhkan teknologi atau baterai lithium yang berasal dari bahan tambang nikel. Otomatis akan ada pembukaan tambang nikel, smelter, pabrik baterai, pabrik mobil listrik, dan lain-lain. Pihak yang paling rentan dari semua proses transisi ini adalah perempuan, anak, maupun kelompok rentan lainnya sehingga transisi energi membutuhkan pendekatan GEDSI dalam perjalanannya,” pungkas Aryanto.
Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI