• Perempuan adalah penyedia utama kebutuhan energi dalam rumah tangga. Perempuan juga sebagai pencari sumber energi alternatif, ketika ketiadaan energi terjadi.
  • Namun, dalam konteks energi, sejauh ini perempuan hanya diposisikan sebagai konsumen untuk memenuhi kebutuhan keseharian atau ranah domestik.
  • Dalam konteks energi terbarukan perempuan punya peran mengusahakan bahan bakar pengganti minyak dengan sumber energi seperti surya [matahari], air, angin, biomassa dan biofuel yang berasal dari hasil pertanian dan hutan.
  • Selama paradigma transisi energi hanya mengatrol pertumbuhan ekonomi, maka perempuan dan kelompok rentan masih menjadi bagian terpinggirkan.

Perempuan adalah penyedia utama kebutuhan energi dalam rumah tangga. Perempuan juga sebagai pencari sumber energi alternatif, ketika ketiadaan energi terjadi.

Namun, dalam konteks energi, sejauh ini perempuan hanya diposisikan sebagai konsumen untuk memenuhi kebutuhan keseharian atau ranah domestik.

“Energi bukan dianggap pengetahuan, sehingga perempuan diartikan tidak paham atau tidak dapat menyumbang pemikiran dalam tata kelola energi,” terang Mike Verawati, Koordinator Pekerja Reformasi Kebijakan Publik cum Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, dalam acara “Nasib Perempuan Dalam Bingkai Transisi Energi” pada Kamis [7/3/2024].

Mike menilai, kemiskinan di kalangan perempuan semakin tampak disebabkan kebijakan energi tidak berperspektif gender. Akibatnya, perempuan semakin jauh dari persoalan energi.

“Padahal, dalam konteks energi terbarukan perempuan punya peran mengusahakan bahan bakar pengganti minyak dengan sumber energi seperti surya [matahari], air, angin, biomassa dan biofuel yang berasal dari hasil pertanian dan hutan.”

Perempuan di tiga wilayah, Halmahera, Salatiga, dan Kepulauan Seribu, memilih tidak menggunakan elpiji, selain sering hilang di pasaran dan harga yang mahal. Bahkan, hampir semua ibu rumah tangga, di wilayah pedesaan tersebut menggunakan kayu bakar sebagai pengganti energi.

“Mereka tidak punya akses ke teknologi energi terbarukan. Mereka, mungkin memahami sumber-sumber energi baru tetapi minim pengetahuan atau kemampuan teknis.”

Koalisi Perempuan merekomendasikan, pertama, adanya kerangka analisis gender equality, disability, and social inclusion [GEDSI] dalam kebijakan dan tata kelola energi di Indonesia. Kedua, pengorganisiran, khususnya kelompok marjinal/rentan agar bersuara hak atas energi bersih berkelanjutan. Ketiga, penguatan dan percepatan pembangunan di sektor energi, dengan menempatkan gender specialist dalam program-program energi.

“Selama paradigma transisi energi hanya mengatrol pertumbuhan ekonomi, maka perempuan dan kelompok rentan masih menjadi bagian terpinggirkan,” ujar Mike.

Dua pekerja tengah membersihkan panel surya yang berada di Dusun Talang Aro, Batanghari Jambi. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesi

Partisipasi perempuan harus dijamin

R. Mouna Wasef, Head of Division Research & Advocacy Publish What You Pay [PWYP] Indonesia, mengatakan partisipasi perempuan harus dijamin dalam mengawal transisi energi. Ini terdapat dalam Enhanced Nationally Determined Contribution [NDC] 2021.

“Komitmen ini untuk mengurangi emisi dengan menjamin partisipasi para pemangku kepentingan seperti sektor swasta, masyarakat sipil, kelompok rentan, perempuan, masyarakat adat atau masyarakat hukum adat, dan masyarakat lokal, baik dalam perencanaan maupun tahapan implementasi.”

Jaminan berikutnya dalam Bali Energy Transition Roadmap G20, yaitu pelibatan masyarakat dan kesetaraan gender beserta aspek perilaku dan kualitas hidup.

Jaminan juga terdapat dalam Comprehensive Investment and Policy Plan Just Energy Transition Partnership Indonesia [CIPP JETP] 2023. CIPP merupakan dokumen strategi yang akan digunakan Pemerintah Indonesia sebagai dasar perencanaan dan pembuatan kebijakan kerangka JETP.

Ada dua pilar alam kerangka transisi berkeadilan. Pertama, Leave No One Behind atau tidak satupun yang tertinggal. Kedua, keberlanjutan dan ketahanan.

“Pondasi kedua pilar itu hak asasi manusia, kesetaraan gender dan pemberdayaan masyarakat, serta akuntabilitas,” katanya.

Mona mengusulkan agar komunitas transisi energi berkeadilan memiliki prinsip meningkatkan kapasitas perempuan dan kelompok rentan lain, di sekitar proyek transisi energi. Juga, ada gender budget tagging untuk kelompok perempuan di tingkat lokasi.

PLTS di Gili Terawangan, NTB. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

Faktor gender

Chandra Sugarda, Senior Gender, Disabilitas dan Inklusi Sosial [GEDSI] Advisor mengatakan, ada tiga implikasi besar dalam proses transisi energi. Pertama, sistem energi, yaitu implikasi pensiun dini PLTU Batubara terhadap fisik atau sistem energi yang ada. Kedua, menumbuhkan aktivitas ekonomi baru di lokasi terdampak. Ketiga, sosial budaya, kemungkinan tenaga kerja terdampak, seperti munculnya migrasi baru dan masalah kesehatan.

Di Indonesia, pengarusutamaan gender [PUG] bukan hal baru dan sudah dijalankan dalam konteks transisi energi. Namun, jika dilihat dalam pemerintahan, pengambilan keputusan masih didominasi laki-laki.

“Meski keseluruhan komposisi aparatur sipil negara sedikit lebih banyak perempuan, namun laki-laki mendominasi pada tingkat keputusan. Termasuk, dalam sektor transisi energi. Berdasarkan Badan Kepegawaian Negara 2023, contohnya di KESDM, kepemimpinan perempuan hanya berkisar 10%,” ungkapnya.

Menurut Chandra, dari segi kebijakan, mekanisme, dan alat bantu untuk pengarusutamaan gender, sebenarnya sudah lengkap bahkan ada pedoman anggaran perubahan iklim yang responsif gender di Kementerian Keuangan.

“Namun, implementasinya termasuk transisi energi, masih beragam.”

Chandra merekomendasikan agar pemerintah melakukan hal:

  1. Menyusun kebijakan yang mempromosikan GEDSI dalam transisi energi dan energi baru terbarukan.
  2. Mendorong partisipasi perempuan dan kelompok rentan dalam proses pengambilan keputusan serta mendorong keberagaman posisi kepemimpinan.
  3. Memberi pelatihan vokasi kepada kelompok yang kurang terwakili dalam sektor energi.
  4. Menerapkan praktik perekrutan non-diskriminatif di sektor energi dan mendukung inisiatif kesetaraan upah dan kesempatan jenjang karir.
  5. Melibatkan masyarakat lokal yang terdampak proyek energi, memastikan manfaat proyek EBT dan transisi energi terdistribusi secara adil merata
  6. Melakukan pengumpulan data terpilah GEDSI untuk menganalisis kesenjangan.
  7. Mempromosikan pengembangan teknologi EBT yang aksesibel dan bermanfaat untuk semua.
  8. Mendorong kolaborasi semua pemangku kepentingan untuk pengarusutamaan GEDSI.
  9. Memberikan perempuan dan kelompok rentan untuk mengakses pembiayaan proyek transisi energi.

“Terakhir, perlu evaluasi dampak inisiatif GEDSI berkala dan mendorong budaya penyempurnaan berkelanjutan agar GEDSI menjadi prioritas transisi energi,” paparnya.

Sumber: Mongabay