Publik dikejutkan dengan temuan tunggakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) dari badan usaha Mineral dan Batubara sebersar Rp 26,23 triliun pada Oktober 2016. Hal ini disebabkan oleh belum terselesaikannya tunggakan Kontrak Karya (KK) batu bara generasi pertama selama 2008-2012 yang kurang lebih mencapai Rp 21 triliun. Sedangkan sisanya dari pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Kontrak Karya (KK) yang tidak membayar kewajiban PNBP (sewa tanah dan royalti) karena turunnya harga komoditas.

Kementerian Mineral dan Sumber Daya Energi (ESDM) baru-baru ini merilis data penurunan tunggakan sebesar RP 5,07 triliun hingga Februari 2017. Sebanyak Rp 3,94 triliun dikontribusi oleh pemegang izin pertambangan. Sedangkan Rp 1,1 triliun dikontribusikan oleh Kontrak Karya (KK) batubara dan sisanya Rp 20,636 miliar

dikontribusikan oleh Kontrak Karya (Investor Daily, 13 Maret 2017). Tunggakan Kontrak Karya batubara generasi pertama diklaim sudah diselesaikan. Namun, mekanisme penyelesaian tidak terbuka untuk umum.

Perlu digarisbawahi disini bahwa tunggakan RP 21 triliun berasal dari badan usaha yang menahan pembayaran hasil penjualan/royalti batubara sebagai konsekuensi pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tidak diatur dalam kontrak. Dengan kata lain, karena perusahaan tersebut telah membayar pajak diluar kontrak, maka perusahaan tersebut tidak mau membayar royalti yang merupakan komponen Dana Bagi Hasil (DBH) yang akan disalurkan kepada pemerintah daerah.

Jika tunggakan tersebut dintayatakan sudah diselesaikan, apakah triliunan royalty akan disalurkan ke pemerintah daerah melalui mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH) tahun ini? Ataukah ada mekanisme lain yang diterapkan?

Masalah tunggakan tidak hanya terkait Kontrak Karya Batubara generasi pertama, ada tibuan izin pertambangan dan Kontrak Karya yang belum melunasi hutangnya. Koordinasi antrakementerian dan oenerbitan RUU telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara. Sayangnya, ketidakjelasan alamat dan kondisi pencabutan izin pertambangan menjadi kendala utama proses penyelesaian ini.

Batas waktu pelunasan tunggakan telah ditetapkan, yaitu pada 31 Maret 2017. Ultimatum juga diberlakukan. Jika perusahaan tidak melunasi tunggakannya sebelum batas waktu tersebut, Ditjen Minerba tidak akan menerbitkan Sertifikat Clear and Clean (CnC), Eksportir Tercatat, dan Surat Perjanjian Ekspor, serta izin induk pelabuhan. Perbaikan sistem penerimaan mineral dan batubara diupayakan melalui pengembangan sistem penerimaan negara bukan pajak (E-PNBP) elektronik yang bertujuan untuk memantau pemenuhan kewajiban Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Namun demikian, hal tersebut tidak menjamin kepatuhan badan usaha dalam memenuhi kewajiban keuangan. Upaya penegakan hukum harus diupayakan, sesuai dengan UU PNBP no 20/1997. Selain itu, Kementerian ESDM juga perlu mengungkapkan data tunggakan tersebut juga membuat mekanisme blacklist yang mencakup pemilik manfaat guna menutup akses mereka untuk berinvestasi di sektor pertambangan mineral dan batubara. Tanpa tindakan tegas dari pemerintah, masalah ini akan terulang kembali, dan pemerintah daerah sebagai penerima pendapatan akan dirugikan.