TaxAmnesty

JAKARTA – Langkah pemerintah dan DPR yang sedang menggodok Rancangan Undang-Undang Pengampunan Nasional, salah satunya mengenai pengampunan pajak (tax amnesty) makin menuai banyak penolakan? Selain dinilai memanjakan koruptor, pengampunan pajak juga dinilai tak pantas diberikan kepada penghindar pajak.

Apalagi, selama ini negara sudah banyak dirugikan maraknya pelarian dana ilegal ke luar negeri demi menghindari pajak. Direktur Eksekutif Perkumpulan, Prakarsa Setyo Budiantoro mengatakan, langkah tax amnesty akan menjatuhkan wibawa pemerintah di mata wajib pajak yang selama ini menyembunyikan aset mereka di luar negeri.

Menurutnya, upaya ini akan mengesankan bahwa pemerintah tak tegas dan mudah ditawar. “Padahal yang perlu dilakukan saat ini adalah menindak tegas para pelaku transfer pricing dan pengemplang pajak untuk menimbulkan efek jera,” ujarnya, Minggu (18/10).

Seharusnya, pemerintah membentuk semacam intelijen pajak untuk menyelidiki aset dan pengelolaan dana pada perusahaan yang melantai di bursa. “Lihat omzet berapa, pajaknya berapa. Kalau tak sesuai ya dihukum, jangan malah diberi tax amnesty,”? ucapnya.

Samarkan Identitas
Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia, Dadang Tri Sasongko mengatakan, berdasarkan kajian yang dilakukan lembaganya, ?saat ini masih cukup banyak perusahaan yang menyembunyikan aset dengan menyamarkan identitas korporasi. Ini dilakukan untuk menghindari pajak.

Menurutnya, dana ilegal yang keluar dari Indonesia atau biasa disebut illicit, ?jauh lebih besar daripada kasus korupsi mana pun di Indonesia. “Ini lebih dahsyat daripada korupsi. Apalagi, kejahatan keuangan makin lama makin canggih,” ucapnya.

Berdasarkan data Global Financial Integrity, dana yang diperoleh, ditransfer, dan digunakan secara ilegal maupun legal, tapi secara illicit mencapai US$ 187,8 miliar selama periode 2003-2012. ?Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengestimasi dana ilegal semua sektor industri di Indonesia dalam 12 tahun terakhir mencapai Rp 2.190 triliun.

Hasil analisis PWYP dalam dua bulan terakhir mencatat aliran dana diduga berasal dari dana panas, yaitu kesengajaan dalam kesalahan pencatatan dan perdagangan melalui faktur palsu. Estimasi PWYP berdasarkan data kontribusi produk domestik bruto (PDB) seluruh sektor, yang diolah melalui Balance of Payment Indonesia dan Direction of Trade Statistic milik the International Monetary Fund (IMF) periode 2003-2014.

Perhitungan PWYP menyatakan perdagangan faktur palsu seluruh sektor itu diduga mencapai Rp 1.986 triliun dalam 12 tahun terakhir. Sementara itu, kesengajaan dalam kesalahan pencatatan mencapai Rp 203,39 triliun.

“Dana ilegal rata-rata per tahun mencapai US$18,78 miliar di Indonesia,” tutur Wiko Saputra, Peneliti Kebijakan Ekonomi PWYP. Menurutnya, angka tersebut membuat Indonesia menempati urutan ketujuh dalam aliran uang ilegal di seluruh dunia dalam kurun waktu 2003-2012.

Oleh karena itu, rencana pemerintah untuk menerapkan pengampunan pajak dinilai sangat tidak pantas bagi korporasi yang melakukan kejahatan dalam bisnisnya. Selain itu, PWYPmendorong adanya penegakan hukum kepada para pelaku penghindaran perpajakan. “RUU Pengampunan Pajak akan memberikan perlindungan hukum dalam bentuk amnesti kepada perusahaan-perusahaan. Ini sangat tidak pantas,” tuturnya.

Hal senada juga dikemukakan Koordinator Forum Pajak Berkeadilan (FPB), AH Maftuchan. Ia menolak rencana penerapan sistem pengampunan pajak. Menurutnya, hal tersebut akan memperpanjang kejahatan keuangan.

Ia menyatakan, aliran dana ilegal di sejumlah sektor bisnis, di antaranya pertambangan, merupakan sinyal bahwa indikasi kejahatan keuangan dan perpajakan masih terjadi. “Melihat praktik kejahatan perpajakan yang dilakukan perusahaan pertambangan, sangat tidak adil jika mereka diberikan pengampunan,” ujarnya.

Sumber : Sinar Harapan


Bagikan