Jakarta, – PWYP Indonesia menyelenggarakan diskusi bertemakan “Pengarusutamaan Gender dan Pembangunan Inklusif dalam Tata Kelola Sektor Ekstraktif” secara daring pada hari Jumat (5/2), dalam rangka persiapan menuju Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PWYP Indonesia 2021. Pemilihan tema tersebut merupakan bagian dari pendalaman kajian dan komitmen PWYP Indonesia dalam mendorong sektor ekstraktif yang selain transparan dan akuntabel juga menjadi sektor yang adil gender.

Diskusi ini dilatarbelakangi oleh kondisi sektor ekstraktif dimana masih terdapat sejumlah permasalahan institusional dan struktural yang membatasi ruang dan akses bagi perempuan dan kelompok rentan terutama dalam mendapatkan akses serta kontrol sumber daya alam demi menjaga kualitas hidup yang baik. Tantangan lainnya, mulai dari minimnya pengakuan dan ruang partisipasi oleh pemerintah dan pengusaha terhadap keberadaan perempuan dan kelompok rentan, maupun refleksi dari gerakan masyarakat sipil dalam melakukan advokasi. Diketahui, sektor ekstraktif hari ini masih dominasi laki-laki di samping masih minimnya penggunaan analisis gender dalam produk-produk advokasi kebijakan. Adapun narasumber yang hadir dalam diskusi ini yaitu Risma Umar selaku Ketua Dewan Nasional WALHI dan Wasingatu Zakiyah selaku anggota Badan Pengarah PWYP Indonesia.

Risma Umar memaparkan sejumlah tantangan yang dihadapi oleh perempuan dan kelompok rentan dalam agenda pembangunan dan tata kelola sektor ekstraktif di Indonesia. Risma Umar menekankan adanya paradigma di kedua hal tersebut yang cenderung eksploitatif. Dalam konteks ini, sumber daya alam tampak dipergunakan untuk kepentingan target pasar semata alih-alih meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup di daerah sekitarnya. Begitu juga dengan adanya model pembangunan yang patriarkis, pembangunan yang terjadi dilakukan tanpa memperhatikan sisi sosial dan ini tentunya berdampak besar pada masyarakat rentan (masyarakat adat, perempuan, dan kelompok marjinal lainnya).

Di Indonesia, pemerintah sudah mengakui pentingnya melakukan pengarusutamaan gender dalam pembangunan. Hal ini dikemukakan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Sayangnya, menurut Risma, hal ini belum diimplementasikan dengan baik. Oleh karena itu, penting bagi institusi dan lembaga terkait untuk mengawal keberlanjutan dari komitmen negara dengan mengadakan audit gender sebagai bagian dari mekanisme pembentukan kebijakan maupun dalam pelaksanaan agenda pembangunan.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, Risma Umar mengedepankan pentingnya melihat kembali konsep energi berbasis komunitas. Sebuah narasi yang berlawanan dengan logika eksploitatif sehingga masyarakat dapat hidup beriringan dengan alam dan menggunakan sumber daya alam berdasarkan kebutuhannya. Untuk bisa melakukannya, diperlukan kajian, penelitian, kolaborasi antar komunitas, dan upaya berbagi ruang pengetahuan melalui pengarusutamaan gender yang mendalam. Selain itu, penting untuk memastikan partisipasi riil masyarakat dari setiap tahapan perencanaan pembangunan.

Wasingatu Zakiyah, dalam kesempatannya memberi paparan singkat mengenai gender di sektor energi atau bagaimana perspektif gender bisa digunakan dalam kajian energi di Indonesia. Sebagaimana trilema energi yang selalu bertumpu pada keadilan, ketahanan, dan keberlanjutan. Wasingatu menjelaskan pentingnya melihat keadaan di lapangan yang terdampak langsung dalam praktik selama ini. Terutama dengan adanya energy poverty atau kemiskinan energi, ia menjabarkan kondisi masyarakat tanpa akses ke energi dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi langsung tingkat kualitas hidup, pendidikan, dan tentunya kesejahteraan masyarakat terutama terhadap perempuan dan kelompok marjinal.

Senada dengan Risma Umar, Wasingatu menggarisbawahi pentingnya gender based evaluation ketika berbicara soal energi. Dalam konteks ini, proyek energi harus bisa mengintegrasikan perspektif gender ke dalam kebijakan sektor energi dan hal ini perlu didukung dengan bukti yang mumpuni. Begitu juga dalam mempromosikan investasi di sektor ini, seiring dengan banyaknya teknologi yang mendukung kegiatan memasak dan rumah tangga yang bersih, teknologi energi berkelanjutan harus bisa terdesentralisasi dan bisa diakses oleh semua. Selain itu, penting juga untuk mempromosikan model bisnis yang berpusat pada perempuan.

Menutup diskusi ini, kedua narasumber sepakat akan pentingnya pengarusutamaan gender dan pembangunan inklusif di sektor ekstraktif yang dalam prakteknya harus meliputi aspek pembentukan pengetahuan, penentuan kebutuhan. Pemerintah beserta perusahaan harus melihat kembali berbagai kearifan lokal yang datang dari masyarakat dan tidak lagi memandang sektor ekstraktif dan agenda pembangunan semata-mata hanya untuk pemenuhan target pasar apalagi kepentingan kelompok tertentu.

Penulis: Habibah Hasnah & Sholahuddin al Ayubi
Editor: Aryanto Nugroho