KOMPAS.com – Koalisi masyarakat sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia yang beraggotakan dari 31 organisasi, meminta pemerintahan baru untuk berkomitmen mewujudkan delapan misi strategis, yang dikenal sebagai Asta Cita, termasuk di dalamnya sektor energi dan sumber daya alam (SDA).

Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho mendesak – dan Kabinet Merah Putih-nya untuk memprioritaskan perbaikan tata kelola sektor energi dan SDA yang sejalan dengan perwujudan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni SDA digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

“Setidaknya ada tiga prioritas utama yang harus diprioritaskan: krisis iklim melalui percepatan berkeadilan; penguatan demokrasi dalam tata kelola, peningkatan pengawasan dan penegakan hukum di sektor energi dan SDA,” kata Aryanto dalam pernyataannya, Kamis (24/10/2024).

Ia menjelaskan, hal yang menjadi catatan dan rekomendasi atau dorongan PWYP untuk pemerintahan baru ini merupakan refleksi terhadap pelaksanaan tata kelola sektor energi dan SDA pada kepemimpinan sebelumnya.

“Sekaligus menjawab tantangan krisis iklim di depan mata, yang jika tidak segera ditindak lanjuti, justru memicu krisis yang lebih besar, termasuk krisis pangan, dan menyebabkan ketimpangan jika tidak ditangani dengan baik,” imbuh dia.

Rekomendasi PWYP

Ia menegaskan bahwa percepatan transisi energi berkeadilan adalah suatu keharusan.

“Upaya untuk mengatasi krisis iklim harus diawali dengan pengurangan dan penghentian penggunaan energi fosil,” ungkap Aryanto.

Apalagi, dalam pidato perdana sesaat setelah diambil sumpahnya, Presiden Prabowo menyebut soal swasembada energi dan hendak mengoptimalkan kelapa sawit untuk menghasilkan solar dan bensin, dan juga tanaman-tanaman lain seperti singkong, tebu, sagu, hingga jagung.

Serta energi bawah tanah geothermal dan batu bara sebagai penopang swasembada energi.

“Kami sangat khawatir, Presiden Prabowo terjebak dengan ‘false solution’ yang justru memperpanjang ketergantungan pada energi fosil, khususnya batubara, ataupun memunculkan deforestasi dan pembukaan lahan baru. Ini harus dihindari,” tegas Aryanto.

Ia juga menyebut pentingnya transparansi dan akuntabilitas tak terbantahkan, terutama di saat ruang gerak masyarakat sipil semakin menyempit.

“Demokrasi harus pulih. Pemerintah wajib menciptakan ruang aman bagi keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan,” imbuhnya.

Digitalisasi dan pengawasan
Selain itu, PWYP Indonesia menyoroti perlunya digitalisasi perizinan diimbagi dengan pengawasan yang ketat dan kepastian aturan untuk mendukung kepatuhan pelaku usaha.

Serta, mengusulkan pembentukan direktorat penegakan hukum di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk memperkuat integritas pengawasan.

Lebih lanjut, prinsip kemanusiaan dalam pengelolaan SDA harus ditegakkan. Era transisi energi membuka peluang untuk memanfaatkan nikel dan mineral kritis lainnya secara berkelanjutan.

“Ekstraksi harus sejalan dengan perlindungan lingkungan dan hak masyarakat, termasuk perlindungan terhadap masyarakat adat; perlindungan kawasan ekosistem sensitive (no go zone), perlindungan hak-hak hidup masyarakat, pengarusutamaan GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social inclusion). Serta mendorong penegakkan Prinsip People before Profit dan FPIC (Free, Prior, and Informed Consent),” tuturnya.

Lebih lanjut, Aryanto menekankan bahwa misi untuk meningkatkan nilai tambah harus berdampak maksimal bagi Indonesia.

“Kami berharap setiap langkah hilirisasi di sektor energi bisa menciptakan investasi, transfer teknologi, dan lapangan kerja dengan berlandaskan prinsip keadilan, kesetaraan, transparansi, dan akuntabilitas,” pungkasnya.

Sumber: Kompas


Bagikan