Penanangan kegiatan hilir sektor minyak dan gas perlu dipertimbangkan secara serius oleh legislatif dalam pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) minyak dan gas baru yang akan menggantikan UU Tahun 2001.

Ekonom Faisal Basri, yang mengetuai tim ad hoc untuk reformasi sektor minyak dan gas, mengatakan manajemen dan tata kelola yang lebih baik dari sektor hilir minyak dan gas diperlukan mengingat negara Indonesia akan menjadi konsumen energi yang besar.

“Penting untuk membahas masalah hulu dari skema kontrak minyak dan gas atau pemulihan biaya. Namun, kegiatan yang berkaitan dengan perdagangan minyak mentah dan produk minyak bumi akan semakin mendominasi dibandingkan dengan kegiatan produksi karena meningkatnya konsumsi dan tren penurunan target nasional, ”kata Faisal pada hari Selasa.

Mengutip data dari Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (SKK Migas), ia mengatakan konsumsi minyak Indonesia akan mencapai 2,8 juta barel per hari (bph) sementara produksi akan serendah 96.000 per hari pada tahun 2050.

Hari ini, produksi minyak nasional mencapai sekitar 800.000 barel per hari sementara permintaan energi sekitar 1,6 juta barel per hari.

“Kita perlu lebih fokus pada, misalnya, fasilitas akses terbuka dan pengembangan kilang yang terintegrasi dengan industri petrokimia,” tambah Faisal.

Pemerintah dan DPR sedang menyusun UU Migas baru untuk menggantikan undang-undang tahun 2001, beberapa di antaranya dinyatakan melanggar hukum oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2012.

Pengadilan menyatakan bahwa keberadaan Badan Pelaksana Migas (BP Migas) inkonstitusional karena menurunkan kontrol negara atas sumber daya alam. Oleh karenanya, BP Migas diberhentikan dan diganti sementara oleh SKK Migas. Dengan adanya pembahasan RUU ini, masyarakat ingin melihat seperti apa bentuk badan pengatur yang baru.

Dalam draf tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengusulkan bahwa badan pengawas baru harus merupakan badan usaha milik negara yang ditugaskan secara khusus. Sementara itu, kepala SKK Migas Amien Sunaryadi berpendapat bahwa badan baru harus menjadi perusahaan yang ditugaskan secara khusus tetapi bukan milik negara, karena hal tersebut akan membuatnya menjadi badan yang berorientasi pada laba.

Baru-baru ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said, menyatakan bahwa pemerintah akan menyambut gagasan yang berkaitan dengan tata kelola sektor hulu minyak dan gas, termasuk membahas perubahan untuk menerapkan kontrak pembagian produksi (PSC) yang diimplementasikan bersama dengan skema pemulihan biaya.

Maryati Abdullah, koordinator organisasi masyarakat sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mengatakan diperlukan keselarasan antara kebijakan sektor minyak dan gas hulu dan hilir. “Apa yang kita lihat sekarang adalah bahwa sektor hilir memiliki cara sendiri dalam mendistribusikan gas atau bahan bakar sementara sektor hulu juga bergerak sendiri dengan sistem kontraknya,” kata Maryati.

– Lihat lebih lanjut di: Raras Cahyafitri, The Jakarta Post, Jakarta | Bisnis | Rab, 27 Mei 2015, 8:27 AM – Lihat selengkapnya di: The Jakarta Post