Pemerintah optimis atas kemenangan kecil melawan penentang dari langkahnya untuk melonggarkan ekspor mineral olahan ringan.

Awal tahun ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 1/2017 dan peraturan pelaksanaannya, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 5/2017 dan 6/2017, yang memungkinkan penambang untuk mengirimkan konsentrat tembaga ke luar negeri, kualitas rendah. bijih nikel dan bauksit yang telah dicuci asalkan mereka berkomitmen untuk membangun smelter secara lokal dan melepas 51 persen sahamnya ke entitas nasional.

Banyak pakar hukum dan pencinta lingkungan menanggapi apa yang mereka anggap sebagai kecelakaan kebijakan dengan kemarahan, menuduh pemerintah melanggar Undang-Undang Pertambangan 2009, yang menetapkan larangan total ekspor semua bijih mineral dan mineral setengah jadi pada 2014.

Pada 3 Maret lalu, para pemangku kepentingan yang terdiri dari pakar dan aktivis dari 20 lembaga mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Agung.

Namun, tindakan berani mereka sia-sia karena pada 3 Agustus, pengadilan menolak permintaan mereka.

“Sampai saat ini kami belum menerima salinan putusan tersebut, yang akan kami kaji tuntas untuk menentukan langkah hukum kami selanjutnya,” kata Ahmad Redi, ahli hukum dari Universitas Tarumanagara Jakarta, yang mewakili koalisi, Selasa.

Pengadilan diharapkan mengirimkan salinan putusan tersebut ke koalisi dalam waktu dua minggu.

Ahmad mengatakan, pihaknya tidak memahami alasan di balik putusan pengadilan tersebut, meski ia mengakui tidak ditemukan celah hukum dalam peraturan yang baru dikeluarkan.

Koalisi memiliki beberapa opsi untuk menggugat lebih lanjut peraturan tersebut, termasuk mengajukan petisi lagi ke pengadilan untuk peninjauan kembali atas Keputusan No. 28/2017, yang menggantikan Keputusan No. 5/2017, dan menggugat Presiden di pengadilan negeri karena diduga melanggar hukum. tindakan.

Kita akan lihat nanti kemana perginya, kata Ahmad.

Salah satu kritik utama atas pelonggaran larangan ekspor adalah bahwa pemerintah memberikan harapan palsu kepada perusahaan yang menanamkan modal dalam jumlah besar untuk membangun smelter untuk mengantisipasi aturan yang jauh lebih ketat.

Banyak pihak menilai kebijakan itu hanya menguntungkan raksasa pertambangan, terutama PT Freeport Indonesia, anak perusahaan Freeport McMoRan Inc. yang berbasis di Amerika Serikat dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara, milik PT Medco Internasional. Kedua penambang tersebut belum mengungkapkan kemajuan signifikan dalam pengembangan smelter.

Untuk memprotes kebijakan pemerintah lainnya, yakni mengizinkan Freeport mengekspor konsentrat tembaga sementara dari Februari hingga Oktober dengan memberikan izin pertambangan khusus sementara (IUPK) kepada perusahaan, koalisi juga mempertimbangkan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).

Sementara koalisi menganggap keputusan pengadilan itu bermasalah, pemerintah mendapat dorongan untuk bergerak maju dengan peraturannya.

Juru bicara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana mengatakan keputusan itu adil dan harus dihormati karena Indonesia mengikuti aturan hukum.

Oleh karena itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan terus menerapkan PP No 1/2017, Perpres 5/2017 dan PP 6/2017, ucapnya kepada The Jakarta Post.

Secara terpisah, Maryati Abdullah, Koordinator Organisasi Masyarakat Sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mengatakan keputusan pemerintah mengeluarkan kebijakan tumpang tindih menjadi preseden buruk bagi industri pertambangan tanah air.

Kebijakan tersebut, kata dia, dapat diikuti oleh regulasi kontroversial lainnya yang dapat menimbulkan ketidakpastian bagi investor.

“Kebijakan yang tumpang tindih tidak akan menarik investor. Kebijakan seperti itu hanya akan membuat mereka takut”, kata Maryati.

Dalam BMI Mining Risk / Reward Index yang diterbitkan pada 16 Mei oleh BMI Research Fitch Group, Indonesia hanya mendapat 25,4 poin dari 100 kategori regulasi pertambangan sebagai pertanda bahwa sektor pertambangannya tidak menarik.