JAKARTA, GRES.NEWS – Koordinator Lembaga Penelitian dan Advokasi Institute for Global Justice (IGJ) Budi Afandi mengatakan, pemerintah harus berhenti memberikan perlakuan khusus kepada PT Freeport Indonesia, seperti keluarnya peraturan pemerintah yang memberi ‘keamanan bagi investasi perusahaan di negara’.

“Itu tindakan yang bodoh karena aturan itu juga berlaku untuk perusahaan lain. Tapi, baru keluar karena negosiasi dengan Freeport”, kata Budi dalam siaran pers yang dikirim ke gres.news, Minggu (15/7).

Sementara itu, Peneliti HUMA Yustisia Rahman mengatakan, pemerintah tidak perlu takut menegaskan kedaulatan bangsa ketika menghadapi Freeport McMorran karena hukum internasional tentang investasi telah memberikan keuntungan bagi bangsa.

Misalnya, ada prinsip Clausula Rebus Sic Stantibus yang bertentangan dengan prinsip Pacta Sun Servanda yang biasa digunakan investor untuk melindungi kepentingannya.

“Prinsip [Clausula Rebus Sic Stantibus] menyatakan bahwa perjanjian perjanjian antar negara dapat dibatalkan karena perubahan keadaan mendasar yang menyebabkan perjanjian atau perjanjian tidak mungkin dilaksanakan,” kata Yustisia.

Pemerintah juga dapat menggunakan Resolusi 1803 (XVII) tentang Kedaulatan Tetap Negara atas Sumber Daya Alam. Salah satu butir dalam resolusi itu menyebutkan bahwa kedaulatan atas sumber daya alam dan sumber daya lain suatu bangsa adalah hak rakyat dan bangsa.

Poin kedua mengatakan, semua eksplorasi, eksploitasi atau bentuk operasi pertambangan lainnya harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang dikeluarkan oleh masing-masing bangsa dan masyarakat karena memang diperlukan.

“Jika sengketa dibawa ke Arbitrase Internasional. Yang harus kita lakukan adalah memperdebatkan klaim kita. Pemerintah tidak perlu khawatir karena ada contoh asas Clausula Rebus Sic Stantibus diperhitungkan di pengadilan arbitrase”, ujarnya.

Gunawan dari IHCS mengatakan, pemerintah didukung oleh landasan konstitusional yang kuat. Ia mencontohkan tafsir MK yang jelas atas frasa ‘Hak Bangsa’. “Konsep (frasa) diperkenalkan semata-mata untuk kesejahteraan rakyat dan tidak dimaknai sebagai konsep kepemilikan yang terdapat dalam hukum perdata,” ujarnya.

“Seharusnya renegosiasi Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia tidak hanya mengubah kontrak menjadi Izin Pertambangan Khusus dan mewajibkan perusahaan membangun smelter,” kata Gunawan.

Sementara itu, Agrung Budiono dari PWYP Indonesia menyayangkan sikap pemerintah yang tertutup soal perundingan dengan PT Freeport Indonesia. “Namun yang krusial atau pemerintah membuka kontrak dan dokumen negosiasi,” ujarnya.

Dia mengingatkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya penyimpangan yang dilakukan oleh perusahaan tambang tersebut. Selain itu, Pengadilan Pajak juga telah memenangkan Pemerintah Papua, tetapi putusan tersebut belum dijalankan.

Namun, pakar hukum internasional Irfan Hutagalung mengatakan, pemerintah harus berhati-hati karena asas Pacta Sun Servanda tidak bisa diabaikan begitu saja, perlu ada perubahan keadaan yang mendasar. Karena itu, dia melihat negosiasi menjadi pilihan terbaik bagi pemerintah.

“Perubahan situasi fundamental tidak boleh dibuat oleh pihak mana pun yang berselisih,” katanya. (mag).