Peran serta masyarakat diperlukan untuk memastikan implementasi kebijakan pembangunan yang tepat dan berkeadilan. Hal ini tertuang dalam PP No.45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Pada praktiknya peran masyarakat dalam hal tersebut masih belum optimal. Penyebab utamanya tidak lain adalah masih terbatasnya pemahaman warga tentang ruang lingkup dan aspek pengawasan yang dapat dilakukan. Oleh karenanya, dibutuhkan upaya peningkatan kapasitas agar masyarakat lebih memahami hak-haknya sebagai warga negara sehingga bisa melakukan fungsi pengawasan secara efektif dan maksimal, serta mampu mengukur akuntabilitas dan integritas penyelenggaraan program pembangunan.
Sebagai respon atas kondisi tersebut, PWYP Indonesia bersama dengan LBH Semarang dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) menyelenggarakan kegiatan temu warga dan pelatihan audit sosial dengan tajuk Dialog Hukum & Pelatihan: Peran Serta Masyarakat dalam Pelaksanaan serta Pengawasan Pembangunan pada Sabtu (26/10/2019) pekan lalu.
Tidak kurang, ratusan orang memadati ruangan serba guna di Langgar Yu Patmi, di Desa Larangan, Kecamatan Tambakromo, Pati, Jawa tengah. Gun Retno, selaku koordinator JMPPK, menjelaskan perihal acara ini diselenggarakan dalam rangka mengenang 1000 hari wafatnya Yu Patmi. Yu Patmi merupakan sosok Kartini Kendeng asal Pati yang meninggal dalam rangkaian aksi di depan Istana Merdeka untuk menyuarakan kelestarian Pegunungan Kendeng.
Dengan tajuk “Nyewu Yu Patmi Nukulke Patriot Bumi” (Seribu Hari Yu Patmi Menumbuhkan Kembali Patriot Bumi) Gun Retno berharap kepergian Yu Patmi dapat menginspirasi warga lain untuk menjadi patriot-patriot baru yang akan melanjutkan perjuangan mempertahankan lingkungan dengan gigih.
Negara Hukum dan Hak Warga Negara
Pelatihan audit sosial diawali dengan sesi diskusi yang dimoderatori oleh Andri Prasetiyo (Peneliti Publish What You Pay Indonesia). Diskusi ini menghadirkan sejumlah narasumber seperti Nimeradi Gulo, yang juga merupakan pendamping hukum warga Kendeng, Rizki Agung Firmansyah dan Mujadid Salim dari Pusat Kajian Anti Korupsi dan Kebijakan Hukum Fakultas Hukum (CACCP FH) UNAIR, serta Tenti Nawari Kurniawati (Direktur Perkumpulan IDEA).
Nimeradi Gulo dalam pemaparannya, menjelaskan bahwa negara Indonesia didirikan oleh para pendiri bukan sebagai negara kekuasaan melainkan negara hukum. Artinya, negara ini harus dijalankan dengan mematuhi kaidah hukum yang berlaku. Gulo juga sempat menyinggung terkait dengan sikap-sikap ketidakpatuhan hukum. Gulo memberikan contoh dengan menyebut sikap pemerintah Jawa Tengah yang tidak patuh hukum dengan mengabaikan putusan Putusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan Petani Kendeng. Bahkan, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, mengambil sikap kontraproduktif dengan memberikan izin baru pendirian pabrik semen di wilayah pegunungan karst Rembang, Jawa Tengah.
Lebih jauh, konsepsi mengenai hukum itu sendiri menurutnya diharuskan berisi moral dan keadilan. Artinya, jika suatu “hukum” yang dibuat tidak bernilai moral dan tidak bernilai keadilan, maka hal tersebut bukanlah hukum melainkan kekuasaan. Dengan demikian rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi harus mengawasi dan meluruskan.
Terlebih dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Sebagai kekayaan bersama, maka tata kelola yang dilakukan pemerintah daerah harus dilakukan dengan tepat dan seadil mungkin. Sebab tambahnya, “ujung dari prinsip negara hukum adalah terciptanya ketertiban umum dan kesejahteraan”. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban warga negara untuk menghalau setiap tindakan yang tidak sesuai, termasuk apa yang kini sedang dihadapi warga Kendeng berkaitan dengan masih beroperasinya aktivitas tambang yang tidak sesuai dengan regulasi.
Di sisi lain, Agung dari (CACCP FH) UNAIR menjabarkan secara rinci ancaman RUU Pertanahan yang belakangan dibahas pemerintah. Salah satunya ialah potensi kembalinya konsep domein verklaring di Indonesia, dimana semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu miliknya, maka tanah tersebut adalah milik (eigendom) negara.
Selain itu, sejumlah pasal kontroversional lain yang menurutnya juga patut dikritisi diantaranya keberadaan Bank Tanah yang memungkinkan adanya praktik liberalisasi agraria, munculnya hak pengelolaan baru (HPL), tertutupnya informasi HGU, hingga pasal yang berpotensi meningkatkan kriminalisasi terhadap para pejuang lingkungan hidup.
Memetakan Persoalan Pembangunan
Siang hari, kegiatan dilanjutkan dengan agenda lanjutan yakni pelatihan audit sosial. Tenti (IDEA Yogyakarta) selaku fasilitator, menjelaskan konsep dasar kepada peserta mengenai peran pengawasan warga beserta tata caranya melalui pranata yang tersedia. Dirinya hendak mendorong tiap peserta agar mau terlibat secara aktif dalam penyelenggaran pemerintahan daerah demi memastikan hak-haknya terpenuhi.
Sebab menurutnya, hal paling utama dalam gerakan adalah peningkatan kapasitas kelompok masyarakat serta penguatan organisasi. Upaya penguatan melalui pengorganisiran tersebut tambahnya, “harus dilakukan secara berjenjang mulai dari lintas desa, kabupaten, hingga provinsi dan nasional.”
Kegiatan diskusi kelompok oleh warga
Dalam format diskusi dan lingkar belajar partisipatif, warga antusias untuk berdiskusi dalam kelompok kecil membahas konsep hak warga negara, dasar regulasi, memetakan permasalahan dalam berbagai aspek yang dekat dengan kehidupan seperti lingkungan hidup, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, transparansi dan penegakan hukum.
Terkait dengan topik tersebut, peserta dalam kelompok diminta untuk memetakan masing-masing topik dari segi masalah, penyebab, dampak, serta solusi yang terpikirkan. Pemetaan ini sangat penting tidak hanya sebagai upaya menemukenali masalah secara bersama, melainkan juga untuk mendorong setiap warga agar berani terlibat dan mau menyuarakan keluhannya. Pasalnya, topik-topik yang telah dipetakan kemudian harus dipresentasikan di depan oleh kelompok. Disini, tampak warga yang sebelumnya tidak banyak bersuara perlahan mau mengutarakan masalahnya.
Poster hasil identifikasi dan analisa warga
Di beberapa kasus, seperti pada topik lingkungan hidup perwakilan masyarakat menjelaskan banyak izin dan aktivitas tambang di wilayah mereka yang beroperasi tidak transparan dengan tidak mempertimbangkan pandangan awal warga setempat. Sejumlah masalah lingkungan seperti debu, polusi dan krisis air dikeluhkan oleh warga dan berdampak kepada aspek kesehatan, ekonomi warga di sektor pertanian. Warga juga menyoroti tentang tindakan kriminalisasi ketika berupaya menjaga lingkungan. Hal ini menjadi ganjalan serius dalam upaya warga untuk mempertahankan hak-hak nya.
Arti Pelatihan Audit Sosial bagi Warga Kendeng
Usai rangkaian diskusi panjang, kegiatan pelatihan dilanjutkan dengan agenda evaluasi bersama. Gunarto, salah satu peserta dari Warga Sikep Pati, mengaku kegiatan yang diikutinya selama sehari penuh tersebut sangat bermanfaat. Dirinya menjadi lebih tahu beragam pelayanan dasar publik yang semestinya didapat sebagai warga negara.
Selain itu, pemahaman akan hak masyarakat dalam melakukan pengawasan layanan publik yang sebelumnya dianggap tabu oleh sebagian besar peserta juga semakin disadari pasca dilakukannya pelatihan. “Kini sebagai warga saya sudah lebih memahami bagaimana caranya melakukan pengawasan melalui jalur yang tersedia seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepolisian, maupun institusi terkait yang ada di tingkat Kabupaten dan Provinsi” Tukas Giyem, dari Tambakromo Pati.
Secara statistik, kami mencatat bahwa terjadi peningkatan pemahaman yang dapat dicermati dari hasil Pre Test dan dan Post Test. Warga diminta menjawab sejumlah pertanyaan seputar isu pelayanan publik dan pengawasan pembangunan oleh masyarakat. Hasilnya, terjadi peningkatan nilai rata-rata keseluruhan dari 55,7 pada saat Pre Test, menjadi rata-rata nilai capaiaan warga menjadi 83,3 pada saat sesi Post Test.
Sebagai rencana tindak lanjut, kegiatan diakhiri dengan penentuan langkah Sedulur Kendeng dalam beberapa waktu ke depan, terutama dalam rangka merespon perkembangan kebijakan Pemerintah Jawa Tengah. Harapannya, apa yang telah dipelajari selama masa pelatihan dapat diimplementasikan dalam agenda JMPPK dalam mengawasi implementasi RTRW, RPJMD yang saat ini telah disahkan.