Transparansi dan akuntabilitas di sektor pertambangan perlu dilakukan guna membuka kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat langsung dalam kebijakan dan melakukan monitoring, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan pertambangan dapat diraih. Hal ini tentu membawa dampak positif terhadap masyarakat dan juga pelaku dan pemangku kepentingan di sektor pertambangan. Untuk mewujudkannya diperlukan kerja sama dengan berbagai pihak yang terdiri dari masyarakat, perusahaan yang terlibat, dan juga pemerintah.
Kalimantan Timur (Kaltim) adalah provinsi yang terkenal dengan sumber daya alamnya di Indonesia, seperti yang dilansir dalam situs resmi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim, diketahui bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kaltim tahun 2020 mencapai angka Rp5,28 triliun. Dengan PAD yang besar dari sektor sumber daya alam ini, tidak heran apabila masyarakat di Kaltim mengharapkan adanya akuntabilitas atas aktivitas pertambangan di daerah mereka.
Kaltim sendiri merupakan salah satu wilayah program Akuntabilitas Sosial Sektor Pertambangan yang digawangi oleh Publish What You Pay (PWYP) Indonesia atas dukungan Global Partnership for Social Accountability (GPSA)-World Bank yang turut didukung Forum Himpunan Kelompok Kerja-30 (Pokja 30).
Sebagai penjajakan awal program, Pokja-30 melakukan kunjungan ke Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Pemkab Kukar) yang diterima oleh Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Pemkab Kukar, Ahmad Taufik Hidayat di Ruang Eksekutif Kantor Bupati Kukar pada Senin (7/6). Pokja-30 menyampaikan persoalan perizinan dan pengelolaan pendapatan tambang yang dirasakan oleh warga Desa Sungai Payang, Kecamatan Loa Kulu – warga dampingan program yang tinggal di ring 1 (satu) wilayah kerja PT MHU, salah satu satu pemegang izin pertambangan batubara di Kaltim.
Buyung Marajo, Koordinator Pokja-30 menyampaikan bahwa harapannya program akuntabilitas sosial ini dapat meningkatkan transparansi dan akses informasi kepada publik, meningkatkan akuntabilitas, pengawasan warga secara sistem layanan pengaduan warga, dan adanya berbagai forum pemangku kepentingan dari tingkatan kabupaten hingga pusat sebagai sarana komunikasi.
Ahmad Taufik Hidayat mengapresiasi program yang dilakukan oleh Pokja-30 dalam berupaya mengatasi masalah perizinan dan pengelolaan penerimaan di bidang pertambangan. Berikut dengan pendekatan akuntabilitas sosial kolaboratif yang diusung, dimana menempatkan diri sebagai mitra pemerintah daerah kabupaten untuk bersama mencari jalan keluar permasalahan perizinan dan pengawasan pertambangan.
Dukungan atas program juga diberikan oleh Kusharyanto, Kepala Perwakilan OMBUDSMAN Provinsi Kaltim, sebagaimana disampaikan dalam kunjungan Pokja-30 ke Kantor Perwakilan OMBUDSMAN Kaltim pada Selasa (15/6) untuk berdiskusi tentang akuntabilitas sektor pertambangan, termasuk penguatan partisipasi masyarakat.
Sama dengan pemaparan yang diberikan kepada Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Pemkab Kukar sebelumnya, Pokja-30 memperkenalkan kembali lembaganya dan memberikan penjelasan tentang program yang sedang dijalankan yang akan beririsan dengan tugas dan fungsi Ombudsman RI Provinsi Kaltim. Dari hasil diskusi dengan beberapa Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) di Kalimantan Timur, Buyung mendapatkan kesimpulan bahwa terdapat masalah terkait wewenang yang dimiliki oleh pemerintah daerah.
Menurut Kusharyanto, sudah seharusnya setiap penyelenggara layanan memiliki standar pelayanan publik dan pengelolaan aduan karena tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Sebab baginya, sangat penting untuk mengajak masyarakat baik yang terdampak ataupun tidak untuk berpartisipasi dalam menyusun standar pelayanan pemberian izin tambang kepada pelaku usaha.
Sedangkan untuk pengelolaan aduan, baik pemerintah pusat maupun daerah belum memiliki fungsi yang cukup dalam melakukan pengawasan dan pengelolaan aduan terkait tambang berdasar UU Minerba. Padahal, menurut Kusharyanto yang disampaikan di akhir diskusi, sudah selayaknya dengan sumber daya alam di Kaltim yang dimanfaatkan, maka masyarakat di sekitar pun berhak untuk mendapatkan kesejahteraan.
Sejalan dengan pandangan OMBUDSMAN Kaltim, Buyung Marajo, Koordinator Pokja-30 menegaskan, “Yang menjadi catatan kami adalah keluhan dari pemerintah daerah yang tidak memiliki wewenang yang cukup dalam pemberian izin dan pengawasan sehingga tidak mampu menangani keluhan dari masyarakat terkait dampak dari kegiatan pertambangan,” tutur Buyung.
Pentingnya inisiatif transparansi dan akuntabilitas di sektor pertambangan nyatanya juga dirasakan oleh pemerintah. Pengelolaan tambang yang sesuai dengan prinsip good governance akan memberikan manfaat bagi semua pihak, terutama masyarakat. Sumber daya alam yang dikelola dengan baik tersebut mampu membawa kesejahteraan kepada masyarakat dan juga lingkungan akan tetap terus terjaga dengan baik.