Di tengah penanganan pandemi Covid-19, pemerintah Indonesia berupaya memulihkan ekonomi lewat berbagai stimulus kebijakan. Salah satunya ialah dengan menggenjot penerimaan pajak dari sektor strategis, termasuk industri ekstraktif. Namun sejumlah tantangan seperti korupsi maupun sistem pendataan yang terbatas membuat penerimaan negara atas pengelolaan sumber daya alam tersebut belum berjalan optimal. Oleh karena itu, keterbukaan data di sektor ekstraktif perlu diakselerasi.

Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenai Pemilik Manfaat Atas Korporasi atau Beneficial Ownership (BO) serta Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi menjadi langkah awal bersama dalam mendorong keterbukaan data di sektor ini. Dalam dua tahun terakhir, kedua dasar kebijakan tersebut telah ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya sejumlah peraturan pelaksana maupun nota kesepahaman dan perjanjian kerjasama antara kementerian/lembaga. Peraturan pelaksana ini memungkinkan dibentuknya sistem pelayanan administrasi korporasi guna mencegah penyalahgunaan pencucian uang, pendanaan terorisme dan penyalahgunaan perpajakan.

Meski demikian, upaya penguatan dan pemanfaatan basis data BO di sektor ekstraktif masih menjadi pekerjaan besar yang perlu dituntaskan. Dalam evaluasi rencana aksi Open Government Indonesia 2018-2020, sejumlah tantangan mendasar membuat pengungkapan BO di sektor ekstraktif tidak berjalan lancar. Meski tata cara penerapan BO telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 15 Tahun 2019, namun ketidaksamaan interpretasi serta basis data di antara K/L terkait membuat langkah dalam pengintegrasian data sulit ditindaklanjuti. Oleh karena itu, diperlukan konsolidasi ulang oleh masing-masing lembaga guna menyamakan persepsi dan komitmen dalam penyediaan satu data valid yang dapat digunakan bersama.

Selain itu, hal penting lainnya ialah partisipasi publik. Sebab, keterbukaan kontrak sesungguhnya bukan hanya terbatas pada pembukaan dokumen perjanjian melainkan keseluruhan proses dari mulai perencanaan hingga pemberian suatu izin. Mekanisme pelibatan publik ini harus ditetapkan agar proses integrasi data lebih akurat dan tepercaya. Dalam konteks ini, pemerintah bersama masyarakat sipil dapat melakukan kerjasama (co-creation) untuk melakukan verifikasi data BO. Dengan begitu, komitmen dalam menghadirkan pemerintahan yang lebih terbuka, partisipatif, dan inovatif, dapat benar-benar dirasakan.

Adapun kepatuhan perusahaan dalam pengungkapan BO juga tampak masih perlu ditingkatkan. Pasal 18 dan 21 Peraturan Presiden mengenai BO menyebutkan bahwa korporasi wajib menyampaikan informasi yang benar mengenai Pemilik Manfaat kepada instansi berwenang, serta keharusan untuk memperbarui informasinya secara berkala setiap satu tahun sekali. Hal ini penting diawasi untuk mencegah benturan kepentingan antara K/L sebagai pemberi izin, dengan perusahaan sebagai pemohon izin. Pemanfaatan data BO dalam pencegahan konflik kepentingan tersebut juga berguna dalam menutupi lubang kelemahan regulasi yang sangat mengandalkan self-declaration dari pihak yang merasa memiliki konflik kepentingan.

Jika saja kita menyadari, bahwa langkah bersama untuk membuka kontrak dan pengungkapan BO ini sesungguhnya memiliki banyak manfaat baik bagi pemerintah, publik, maupun pelaku usaha itu sendiri. Bagi pemerintah dan publik, pengungkapan BO dapat mengoptimalisasi penerimaan pajak sehingga meningkatkan kualitas penggunaan anggaran bagi pengadaan kebutuhan publik. Keterbukaan kontrak juga dapat mencegah dan mendorong pengungkapan kasus korupsi.

Berdasarkan data Open Government Partnership 2019, keterbukaan kontrak secara langsung akan menstimulus peningkatan pertumbuhan ekonomi pada tingkat makro. Misalnya, peningkatan kualitas pengadaan publik atau keterbukaan kontrak ini telah terbukti dengan adanya penghematan sebesar 68 juta dollar Amerika atas pengadaan alat tulis kantor di Paraguay. Berman dkk. (2017) juga mencatat adanya peningkatan kualitas jalan di Afganistan, serta penghematan 10-15% pengadaan makanan anak sekolah di Kolombia (OC, 2018).

Sementara untuk pelaku usaha, Choky (2020) mengungkapkan bahwa keterbukaan kontrak mampu mengurangi resiko berusaha seperti biaya ilegal serta membuat proses pengadaan lebih efisien dan pasti. Keterbukaan kontrak juga membuat persaingan usaha berjalan lebih sehat. Hal ini terbukti ketika Open Contracting dilaksanakan di Ukraina, semakin banyak jumlah perusahaan yang terlibat dalam proses pengadaan publik. Peningkatan jumlah perusahaan ini tentunya berdampak pada tumbuhnya jiwa kewirausahaan yang dapat menghasilkan lapangan pekerjaan baru.

Berkaitan dengan dampak pandemi Covid-19 yang telah berakibat pada sejumlah sektor perekonomian strategis, Open Government Partnership telah memberikan arahan strategi bersama kebijakan keterbukaan data dalam tiga tahapan yakni respon cepat (Open Response), aksi pemulihan (Open Recovery), serta reformasi jangka panjang (Open Reform). Ketiga aspek tersebut penting diimplementasikan oleh Indonesia bersama pihak terkait demi menjaga kepercayaan publik yang belakangan dinilai menurun.

Bagi publik selaku penerima manfaat, right to know atas informasi BO yang mudah dan murah telah menjadi prinsip yang semestinya dijadikan pegangan bersama. Keterbukaan informasi dan ketersediaan data-data pembangunan yang valid, lengkap dan akurat serta terintegrasi sangat dibutuhkan demi terwujudnya pemerintahan yang terbuka dan informatif. Selain itu, akurasi data seyogyanya menjadi basis bagi penentuan pemilihan kebijakan pembangunan yang tepat. Dengan begitu, komitmen dalam menjamin sistem perencanaan pembangunan yang demokratis dan akuntabel, terutama dalam rangka pemulihan ekonomi nasional ke depan dapat tercapai dan dirasakan manfaatnya segera.