Nusa Dua – Indonesia baru saja menyelenggarakan Konferensi Open Government Partnership (OGP) se-Asia Pasifik pada 6-7 Mei lalu di Bali yang dibuka secara langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan tema “Unlocking Innovative Openness: Impetus to Greater Citizen Engagement”. Dalam sambutannya SBY menyampaikan tentang pentingnya meningkatkan keterlibatan masyarakat yang lebih besar dalam pemerintahan yang terbuka dan transparan. Sebagai ketua bersama (co-chairs) dengan Meksiko, Indonesia memimpin perumusan agenda strategis dan operasional OGP untuk tahun 2015 – 2018, membangkitkan mutu partisipasi negara-negara dan CSO dalam gerakan OGP, serta menarik lebih banyak negara di Asia Pasifik bergabung ke OGP. OGP sendiri adalah sebuah inisiatif internasional yang terdiri dari 64 pemerintah dan lebih dari 200 organisasi masyarakat sipil yang bekerja sama untuk mendorong transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan masyarakat.

Salah satu isu penting dalam konferensi OGP kali ini adalah transparansi dalam sektor sumber daya alam. Perluasan diskusi transparansi sektor ekstraktif dalam OGP, komitmen negara untuk mengembangkan inovasi yang berkaitan dengan akses terhadap informasi, partisipasi dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah isu-isu yang mengemuka dalam salah satu sesi break outkonferensi OGP yang diselenggarakan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bekerjasama dengan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Revenue Watch Institute (RWI) yang bertema “Models of Opennessin Sustainable Natural Resources Management”.

Emanuel Bria dari RWI menekankan pentingnya tata kelola yang baik dalam manajemen pengelolaan penerimaan negara untuk mendorong manajemen pengelolaan SDA yang berkelanjutan. Bria menyebutkan berdasarkan Resources Governance Indeks (RGI), negara-negara di Asia Pasifik telah mendapatkan manfaat dari industri ekstraktif sejumlah rata-rata 34% sebagaipenerimaannegara. Akan tetapi, pemanfaatan SDA tersebut tidak disertai dengan keterbukaan terkait dengan dokumen menyangkut dampak lingkungan, hak komunitas masyarakat (adat) untuk memutuskan jenis kegiatan pembangunan macam apa yang mereka perbolehkan untuk berlangsung dalam tanah adat mereka (Free Prior Inform Concern) dan lain sebagainya.

Lalanath de Silva dari World Resource Institute ( WRI ) menyampaikan OGP sedikit banyak mampu menjawab banyak masalah terkait dengan transparansi penerimaan negara. Akan tetapi, transaransi saja tidak cukup apabila tidak disertai dengan keterlibatan masyarakat. OGP harus mampu menjawab tantangan adanya “kutukan sumber daya alam” dimana besarnya penerimaan Negara dari sector SDA tidak disertai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar industri ekstraktif maupun kelestarian lingkungan sekitarnya.

Pengalaman pelaksanaan (Extractive Industries Transparency Initiative) EITI di Filipina menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat diperlukan untuk meningkatkan good governance di sektor pertambangan, serta perlindungan terhadap lingkungan. Demikian disampaikan oleh Elisea G. Gosun, Government Social Insurance System (GSIS) Phillippina.

Bupati Bojonegoro, Suyoto, berbagi pengalaman dalam mengelola penerimaan dari sektor SDAmelalui berbagai mekanisme diantaranyamelalui perencanaan pembangunan daerah, membuka ruang publik, menerbitkanPerda Transparansi dan menjamin partisipasi warga dalam pengambilan kebijakan menyangkut SDA. “Kuncinya adalah bagaimana kita meminimalkan dampak lingkungan dan sosial sekaligus bagaimana kita menggunakan penerimaan negara untuk membawa dampak positif bagi masyarakat melalui keterbukaan” kata Suyoto.

Maryati Abdullah, Koordinator Publish What You Pay Indonesia yang juga merupakan anggota steering committee Open Government Partnership (OGP) di tingkat global menambahkan bahwa persoalan akses informasi dan partisipasi publik merupakan salah satu faktor mendasar dari pelaksanaan Open Government Partnership. Begitupun dalam sektor sumber daya alam, persoalan asimetri informasi harus diatasi untuk memastikan transparansi tata kelola baik di rantai perijinan dan kontrak, monitoring operasi maupun keterbukaan dalam rantai penerimaan dan pembangunan sosial.